M. Rizal Ismail (bahan khutbah)
وَالْعَصْرِ
“Demi al ashr”
Huruf wau dalam ayat ini disebut dengan wau qasam, yang dalam bahasa arab digunakan untuk bersumpah. Maka ayat pertama ini termasuk bentuk kalimat sumpah atau qasam. Dalam ayat ini Allah Ta’ala bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya yaitu al ashr. Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ada tiga pendapat ulama dalam menafsirkan makna al ashr:
1.Artinya waktu/masa. Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu. Dan maksud ayat ini adalah Allah bersumpah dalam rangka mengingatkan tentang berjalannya serta silih bergantinya waktu, yang dengan sendirinya menunjukkan kekuasan dari Sang Maha Pencipta.
2.Artinya siang dan malam.
3.Artinya sore, yaitu sejak matahari melenceng hingga terbenamnya. Ini adalah pendapat Qatadah dan Al Hasan Al Bashri.
4.Artinya shalat ashar. Allah bersumpah dengannya karena keutamaan shalat ashar, atau dalam rangka mensyariatkan shalat ashar.
5.Artinya zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah bersumpah dengannya karena keutamaan zaman beliau, dengan diutusnya beliau.
6.Maksud dari al ashr adalah rabbul ashr, yaitu Allah Ta’ala.
(Diringkas dari Tafsir Al Qurthubi, 20/178-179)
Yang tepat adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ath Thabari: “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah memaknai bahwa di sini Allah bersumpah dengan al ashr, yaitu waktu secara umum, juga waktu sore, juga siang dan malam, dan tidak mengkhususkannya dalam satu makna khusus dan membuang makna yang lain. Setiap makna yang dari kata al ashr tercakup dalam sumpah Allah tersebut.” (Tafsir Ath Thabari, 24/589)
Dari ayat ini kita bisa mengambil beberapa faidah:
1.Bentuk sumpah atau qasam dari Allah menunjukkan seriusnya atau menyatakan benarnya hal yang disumpahkan (Lihat Al Itqan karya As Suyuthi, 4/53). Dalam surat ini, Allah Ta’ala bersumpah untuk menegaskan bahwa manusia itu benar-benar berada dalam khusr.
2.Allah Ta’ala terkadang bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa Ia lah Sang Pencipta (Lihat Al Itqan, 4/55). Maka, waktu, siang-malam, sore, semua itu adalah makhluk Allah. Allah jua lah yang mengendalikan pergantian dari waktu dan seiring dengan itu terjadilah perubahan-perubahan keadaan. Tak ada dzat selain Allah yang bisa menciptakan waktu atau mengendalikannya. Sungguh ini merupakan kebesaran Allah bagi orang yang mau merenungkan.
3.Allah Ta’ala bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa makhluk tersebut adalah salah satu makhluk yang agung sebagai tanda kebesaran Allah dan terkadang menunjukkan manfaat serta keutamaan makhluk tersebut (Lihat Al Itqan, 4/55-57). Maka, waktu adalah makhluk Allah yang agung. Betapa berharganya waktu hingga perbuatan baik sedetik saja akan memberikan kebaikan di akhirat dan perbuatan buruk sedetik saja akan menambah kesengsaraan di akhirat. Oleh karena itu, Islam membimbing umatnya untuk memanfaatkan waktu dengan baik, Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah (dalam hal itu) serta jangan malas.” (HR. Muslim no. 2664)
إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian”
Jika ayat yang pertama tadi adalah kalimat qasam, ayat kedua ini adalah jawabul qasam. Yaitu pokok pikiran dari sumpah yang dilakukan. Dalam ayat ini jelas, Allah Ta’ala bersumpah untuk menegaskan bahwa manusia itu benar-benar berada dalam khusr. Imam Qurthubi menjelaskan lagi perbedaan para ulama dalam memaknai khusr:
1.Artinya kekafiran. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, dari riwayat Abu Shalih.
2.Artinya kelompok orang-orang musyrik. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, riwayat Ad Dhahhak.
3.Artinya kelalaian atau ketertipuan.
4.Artinya kebinasaan. Ini adalah pendapat Al Akhfasy.
5.Artinya akibat yang buruk. Ini adalah pendapat Al Farra’.
6.Artinya keburukan. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.
7.Artinya kekurangan atau ketidak-sempurnaan.
(Diringkas dari Tafsir Al Qurthubi, 20/180)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memiliki penjelasan bagus mengenai ayat ini: “Makna ayat ini adalah Allah Ta’ala bersumpah tentang keaadaan manusia bahwasanya mereka dalam kerugian, yaitu mereka senantiasa berada dalam 2 kerugian, kerugian dunia dan akhirat, kecuali orang-orang yang diperkecualikan oleh Allah. Dan kalimat dalam ayat ini menggunakan tiga buah penegas: pertama, adanya huruf qasam (yaitu wau), kedua, huruf inna (ان), ketiga, huruf lam (اللام). Selain itu Allah Ta’ala juga menggunakan kata لفي خسر ini lebih tegas daripada kata لخاسر karena huruf fii (في ) yang merupakan zharf disitu memberi makna bahwa seakan-akan seluruh manusia tenggelam dalam kerugian, dan kerugian itu benar-benar meliputi mereka dari segala sisi” (Tafsir Juz Amma, 1/308)
Kemudian simak faidah indah dari Imam Fakhrurrazi berikut ini: “Ketahuilah bahwa ayat ini seolah sebuah peringatan bahwa keadaan asal manusia itu berada dalam kerugian dan kekalahan. Ayat ini juga mengikrarkan bahwa kebahagiaan sejati itu ada dalam kecintaan pada akhirat dan berpaling dari dunia. Kemudian, sebab-sebab yang mengajak pada cinta akhirat itu samar, sedangkan yang mengajak pada cinta dunia itu sangat nampak, yaitu segala panca-indera, syahwat dan emosi. Oleh karena itulah, sebagian besar manusia tenggelam dalam cinta dunia dan senantiasa mencarinya. Sehingga mereka pun berada dalam kerugian” (Mafatihul Ghaib, 32/280)
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan, bahwa yang dikecualikan dari kerugian oleh Allah adalah orang-orang yang memiliki 4 sifat:
1.Beriman apa-apa yang diperintah Allah, sebagai konsekuensi iman kepada Allah. Dan iman tidak mungkin tanpa ilmu, karena ilmu adalah bagian dari iman yang tidak mungkin iman bisa sempurna tanpanya
2.Beramal shalih. Ini mencakup semua amalan shalih, baik amalan batih maupun amalan zhahir, baik yang berkaitan dengan hak Allah, maupun hak hamba, baik yang wajib maupun yang sunnah.
3.Saling menasehati dalam al haq, yaitu iman dan amalan shalih. Saling menasehati satu dengan yang lain untuk beriman dan beramal shalih, saling mendorong dan menyemangati kepada hal itu.
4.Saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan, dalam menjauhi maksiat serta dalam menghadapi takdir yang buruk.
Beliau lalu melanjutkan: “Dua poin pertama, dalam rangka menyempurnakan diri sendiri. Sedangkan dua poin kedua, dalam rangka menyempurnakan orang lain. Dengan dijalankannya empat hal ini maka manusia akan selamat dari kerugian menuju kemenangan dan keberuntungan” (Taisir Karimirrahman, 1/934).
Demikianlah seorang muslim, menginginkan kebaikan pada dirinya, juga menginginkan kebaikan yang sama pada orang lain. Selain berusaha untuk meningkatkan iman dan menyibukkan diri dengan amalan shalih demi kebaikan dirinya, seorang muslim juga menasehati muslim yang lain untuk demikian.
Tidak sebagaimana sikap sebagian orang yang enggan menasehati dan enggan dinasehati. Ketika dinasehati mereka pun berkata ‘jangan campuri urusanku, biarlah untukku amalku, untukmu amalmu‘. Sikap angkuh demikian bukanlah akhlak yang mulia dan bertentangan dengan wasiat Allah dan Rasul-Nya dalam surat Al Ashr ini. Namun begitulah memang dinamika dalam memberi nasehat, akan senantiasa menemui rintangan, keangkuhan dan penentangan. Oleh karena itu lah ciri orang yang tidak merugi adalah yang bisa bersabar dalam menghadapi itu semua.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah mengecualikan dari manusia yang merugi tersebut yaitu orang-orang beriman sepenuh hati mereka, serta beramal shalih dengan anggota badan mereka, serta saling menasehati dalam kebenaran, yaitu menunaikan ketaatan dan meninggalkan segala yang haram, serta saling menasehati dalam kesabaran, yaitu ketika menghadapi musibah, takdir yang buruk dan gangguan dari orang-orang yang suka menyakiti para penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/480).
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad
0 komentar:
Posting Komentar