M. Rizal Ismail (bahan khutbah)
“Khotbah”, secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata “khitbah” yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti ‘melamar wanita untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali pada perkara besar.
Definisi secara istilah
Sebagian ulama mendefinisikan “khotbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung nasihat dan informasi’. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum. Adapun definisi yang lebih jelas ialah definisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Al-Hufi yaitu, ‘Cabang ilmu atau seni berbicara di hadapan banyak orang dengan tujuan meyakinkan dan memengaruhi mereka’. Dengan demikian, khotbah harus disampaikan secara lisan di hadapan banyak orang dan harus meyakinkan dengan argumen-argumen yang kuat serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu berupa motivasi atau peringatan.
Adapun terkait khotbah Jumat, tidak terdapat definisi khusus yang diberikan oleh para ulama karena maksudnya telah jelas.
Dalam kitab Bada’iush Shana’i, pada pemaparan tentang hukum khotbah Jumat, disebutkan, “Khotbah, secara umum, adalah perkataan yang mencakup pujian kepada Allah, salawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, doa untuk kaum muslimin serta pelajaran dan peringatan bagi mereka.”
Penjelasan ini adalah penjelasan umum dan bukan definisi yang teliti dan memenuhi syarat-syarat definisi ilmiah.
Adapun definisi yang hampir pas untuk “khotbah Jumat” ialah ‘perkataan yang disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai tujuannya.
2. Definisi “Jumat”
Kata “Jumat” dalam bahasa Arab bisa dibaca dengan tiga cara: jumu’ah, jum’ah, atau juma’ah. Adapun bacaan yang terkenal adalah “jumu’ah”. Demikian pula cara baca pada qiraah sab’ah, dalam firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah mengingat Allah.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Adapun bacaan “jum’ah” adalah bacaan ringan, yaitu dengan menghilangkan harakat pada huruf mim, menjadi lebih mudah diucapkan. Adapun cara baca “juma’ah” berasal dari sifat hari Jumat yang mengumpulkan banyak orang, seperti kata “humazah” yang berarti ‘orang yang banyak mengumpat’ dan kata “dhuhakah” yang berarti ‘orang yang banyak tertawa’. Bacaan “juma’ah” dalam bahasa Arab dikenal sebagi dialek Bani Uqail. Adapun bentuk jamak kata “jumu’ah” adalah “jumu’at” atau “juma’”.
Sebab penamaan hari Jumat
Pada masa jahiliah, hari Jumat disebut dengan hari Urubah, kemudian dinamakan “Jumat” beberapa saat sebelum Islam datang. Adapun yang memberi nama hari Jumat adalah Ka’ab bin Lu’ai. Tatkala itu, orang-orang Quraisy berkumpul mendatanginya pada hari itu, kemudian ia berkhotbah dan memberikan pelajaran kepada mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa penamaan hari Jumat adalah setelah datangnya Islam.
Adapun tentang penyebab penamaannya, ada beberapa pendapat, yaitu:
Pendapat pertama: Allah ta’ala menghimpun penciptaan Adam ‘alaihis salam pada hari itu. Dasar pendapat ini adalah riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau ditanya, “Kenapa dinamakan hari Jumat?” Beliau bersabda,
لِأَنَّ فِيهَا طُبِعَتْ طِيْنَةُ أَبِيكَ آدَمَ، وَفِيهَا الصُّعْقَةُ وَالْبِعْثَةُ، وَفِيهَا البَطْشَةُ، وَفِي آخِرِ ثَلَاثِ سَاعَاتٍ مِنْهَا سَاعَةٌ مَنْ دَعَا اللَّهَ فِيهَا اسْتُجِيْبَ لَهُ
“Karena pada hari itu, tanah liat ayah kalian, Adam, dicetak. Pada hari itu, kiamat dan kebangkitan terjadi. Pada hari itu pula, kehancuran melanda. Di akhir tiga waktu pada hari itu, ada satu waktu, barang siapa yang berdoa kepada Allah pada waktu itu pasti doanya dikabulkan.” (H.r. Ahmad, 2:113)
Pendapat ini dinilai sahih dalam Fathul Bari dan Nailul Authar.
Pendapat kedua: Berkumpulnya orang-orang pada hari itu di Masjid Jami’ untuk shalat.
Pendapat ketiga: Allah mempertemukan Adam dan Hawa di bumi pada hari itu.
Pendapat keempat: Banyak kebaikan di dalamnya.
Sebagian pendapat di atas, ada yang diambil dari makna kata “Jumat” dan sebagian disimpulkan dari hadis dhaif. Namun, tidak ada masalah untuk menjadikan semua pendapat di atas sebagai sebab penamaan hari Jumat. Allahu a’lam.
3. Hukum khotbah Jumat
Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah termasuk syarat shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar sunah sehingga shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para ahli fikih terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiah dan mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih bagi mereka, demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan dalam kitab Al-Hawi, “Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain Hasan Al-Bashri, karena ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata, ‘Khotbah tidaklah wajib.’”
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak mengetahui pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat kedua menyebutkan bahwa khotbah merupakan sunah Jumat. Ini merupakan pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian pengikutnya (Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Tarjih: Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama, bahwa khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama menganggap hal ini menyerupai ijma’.
Adapun dalil yang menguatkan pendapat ini adalah dalil yang diambil dari Alquran, hadis, dan atsar dari sahabat serta tabi’in. Berikut ini pemaparan dalil-dalil tersebut.
Dalil Alquran
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Ulama salaf berbeda pendapat mengenai maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas. Sebagian salaf mengatakan bahwa maknanya adalah ‘khotbah’, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa maknanya adalah ‘shalat’. Ibnul Arabi menilai bahwa yang sahih adalah kedua pemaknaan tersebut.
Adapun yang berpendapat maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘khotbah’ menyatakan kewajibannya dari dua sisi:
1.Ayat tersebut merupakan perintah untuk bersegera menuju khotbah, sedangkan hukum asal perintah adalah wajib. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk bersegera menuju sesuatu yang wajib kecuali maknanya adalah “untuk memenuhi kewajiban”.
2.Allah melarang jual beli ketika dikumandangkannya azan untuk khotbah Jumat. Dengan demikian, jual beli haram dilakukan pada waktu itu. Pengharaman jual beli menunjukkan wajibnya khotbah, karena sesuatu yang sunah tidak bisa mengharamkan yang mubah.
Adapun yang berpendapat bahwa maksud “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘shalat’, menyatakan bahwa khotbah termasuk dalam shalat. Seorang hamba mengingat Allah dengan perbuatannya, sebagaimana ia bertasbih dengan perbuatannya pula.
Selain itu, Allah ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya (perniagaan dan permainan itu) dan mereka meninggalkan dirimu yang sedang berdiri (berkhotbah).” (Q.s. Al-Jumu’ah:11)
Allah ta’ala mencela mereka karena mereka berpaling dan meninggalkan khotbah, sedangkan makna “wajib” secara syariat ialah ‘sesuatu yang dicela karena ditinggalkan’.
Dalil hadis
Hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَقْعُدُ، ثُمَّ يَقُومُ، كَمَا تَفْعَلُونَ الآنَ
“Nabi berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti yang biasa kalian lakukan sekarang.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis riwayat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا. فَمَنْ نَبَأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ صَلَّيتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَي صَلَاة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri. Siapa saja yang memberitakan kepadamu kalau beliau berkhotbah dengan duduk, sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh, aku telah shalat bersama beliau lebih dari dua ribu kali.” (H.r. Muslim, 2:589)
Walaupun kedua hadis di atas hanya sebatas perbuatan Nabi yang tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hadis tersebut merupakan penjelasan dari kewajiban yang disebutkan secara umum dalam ayat “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” (Q.s. Al-Jumu’ah:9).
Dengan demikian, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas merupakan penjelasan dari perintah yang umum, maka perintah itu menjadi wajib. Wallahu a’lam.
Hadis lainnya yang menjadi dalil adalah hadis Malik bin Al-Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Lebih dari satu ulama mengatakan bahwa seumur hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah shalat Jumat tanpa khotbah, sedangkan beliau telah memerintahkan kita untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Kalaulah boleh shalat Jumat tanpa khotbah, pasti beliau akan melakukannya walau sekali, sebagai pengajaran atas kebolehannya, karena khotbah sangat berkaitan dengan shalat Jumat dan merupakan bagian dari shalat Jumat.
Dalil atsar sahabat dan tabi’in
Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
الخُطْبَةُ مَوضُعُ الرَكْعَتَيْنِ، مَنْ فَاتَتْهُ الخُطْبَةُ صَلَّى أَرْبَعًا
“Khotbah merupakan tempat dua rakaat. Siapa saja yang terlewat dari khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّمَا جُعِلَت الخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Dalam riwayat yang lain, “Khotbah itu tidak lain dijadikan pengganti dua rakaat. Jika seseorang tidak mendapatkan khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
Atsar di atas menunjukkan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur. Oleh karena itu, keduanya adalah perkara wajib karena merupakan bagian dari shalat, begitu pula hukum penggantinya.
Atsar di atas adalah atsar yang sanadnya terputus dan tidak bisa dijadikan dalil. Kalaupun atsar tersebut benar-benar perkataan sahabat, maka masih tetap ada perselisihan mengenai penggunaanya sebagai dasar hukum. Adapun penyebuatan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.
4. Apakah yang menjadi syarat satu atau dua khotbah?
Mayoritas ulama yang mempersyaratkat khotbah untuk shalat Jumat berbeda pendapat: apakah cukup hanya dengan satu khotbah atau harus dua khotbah. Dengan demikian, mereka terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama, mempersyaratkan dua khotbah.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik dalam satu riwayat darinya, demikian pula sebagian pengikutnya (Malikiah). Begitu pula Syafi’iah dan juga riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan mazhab bagi Hanabilah.
Pendapat kedua, tidak mempersyaratkan dua khotbah, bahkan satu khotbah saja sudah mencukupi.
Pendapat ini merupakan pendapat Hanafiah dan Imam Malik dalam satu riwayat darinya, begitu pula sebagian Malikiah. Pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Tarjih: Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yang mempersyaratkan dua khotbah untuk shalat Jumat. Berikut ini dalil-dalil yang menguatakan pendapat tersebut.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah dengan berdiri. Beliau memisahkan keduanya dengan duduk.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri.” (H.r. Muslim, 2:589)
Dari dua hadis di atas jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah, sedangkan beliau bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Dalil berikutnya adalah atsar mengenai dua khotbah yang merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur, sehigga setiap satu khotbah merupakan pengganti satu rakaat. Oleh karena itu, kekurangan satu khotbah itu seperti kurang satu rakaat.
Sebagai catatan, atsar yang menyatakan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dua rakaat shalat zuhur tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus dan itu hanya perkataan sahabat. Adapun penyebutan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini
0 komentar:
Posting Komentar