Rabu, 27 Oktober 2010

Peristiwa besar Perang Badar dipimpin Rasulullah SAW

M. Rizal Ismail (bahan khutbah)

Disebut sebagai peristiwa besar, karena perang Badar merupakan awal perhelatan senjata dalam kapasitas besar yang dilakukan antara pembela Islam dan musuh Islam. Saking hebatnya peristiwa ini, Allah namakan hari teradinya peristiwa tersebut dengan Yaum Al Furqan (hari pembeda) karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat Islam, hendak membedakan antara yang haq dengan yang batil. Di saat itulah Allah mengangkat derajat kebenaran dengan jumlah kekuatan yang terbatas dan merendahkan kebatilan meskipun jumlah kekuatannya 3 kali lipat. Allah menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum muslimin dan memenangkan mereka di atas musuh-musuh Islam.

Sungguh sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin di masa kita melalaikan kejadian bersejarah ini. Padahal, dengan membaca peristiwa ini, kita dapat mengingat sejarah para shahabat yang mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu, kita bisa merasakan indahnya agama ini.

Latar Belakang Pertempuran

Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah. Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka. Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian? Bukankah harta dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?

Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang kafir Quraisy tersebut halal bagi para shahabat:

Orang-orang kafir Quraisy statusnya adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara terang-terangan memerangi kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah kelahiran mereka di Mekah, dan melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta mereka sendiri.

Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dan orang kafir Quraisy yang memerangi kaum muslimin. Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali harta yang telah mereka tinggal dan merampas harta orang musyrik.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama tiga ratus sekian belas shahabat. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin di perang badar. Ada yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang menjadikan angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan bahwa itu adalah jumlah pasukan Badar.

Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.

Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.

Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya:

وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)

Prediksi Abu Sufyan tentang Pasukan Islam

Waktu itu Abu Sufyan terkenal sebagai seorang yang begitu ambisius dan cerdik. Ia selalu memperhitungkan segala macam kemungkinan dan resiko yang dapat terjadi. Ia tahu benar apa yang telah dilakukan penduduk Quraisy terhadap kaum muslimin selama ini. Ia pun begitu menyadari akan kekuatan umat islam yang semakin hari semakin mengalami peningkatan dan perkembangan. Ia mengorek informasi dari setiap rombongan orang yang ditemuinya sebagai bukti kekhawatirannya atas perdagangannya berikut harta orang-orang Quraisy yang dibawanya. Hingga akhirnya ia mendengar kabar dari beberapa orang yang ditemuinya bahwa Nabi Muhammad telah memobilisasi sahabat-sahabatnya untuk mencegat rombongan yang sedang membawa harta perdagangan. Mendengar hal ini, ia pun segera berhati-hati dan mengambil jalur perjalanan yang lain seraya mengirim utusan kepada penduduk Quraisy yang ada di Kota Makkah untuk meminta bantuan.

Keangkuhan Pasukan Abu Sufyan dan mobilisasi pasukan Quraisy

Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan enggan menerima tawaran ini. Dia justru mengatakan,

“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”

Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)

Abu Sufyan menyewa Dhamdham bin ‘Amr Al-Ghifari agar segera menemui orang-orang Quraisy dan memberitahu mereka situasi yang tengah terjadi. Ia pun bergegas menunggangi untanya. Dengan berteriak ia berkata, ”Wahai orang-orang Quraisy! Harta kalian bersama Abu Sufyan terancam oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kulihat kalian tidak akan memperolehnya. Tolonglah… tolonglah!” Mendengar berita ini, fanatisme mereka pun berkobar. Mereka begitu khawatir akan perdagangan mereka. Dengan cepat mereka bergerak. Semuanya pergi kecuali Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib. Ia mengirim Al-‘Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah sebagai pengganti. Orang-orang Quraisy sepakat untuk bersama-sama pergi baik dalam keadaan susah maupun lapang. Di depan barisan mereka terdapat biduan wanita yang bernyanyi mendendangkan hinaan dan celaan bagi umat Islam.

“Dan (ingatlah) ketika setan memperindah perbuatan-perbuatan mereka dan membisikkan bahwa tidak ada yang akan mengalahkan kalian pada hari ini, dan aku akan benar-benar menjadi pelindung kalian.”

Abu Sufyan tidak hanya berpangku tangan menanti uluran bantuan dari penduduk Quraisy. Ia curahkan segenap kepiawaian yang ia miliki agar mereka tidak jatuh ke tangan kaum muslimin. Semua informansi dan peristiwa yang ada ia kumpulkan dan dianalisis hingga akhirnya ia tahu kapan pasukan muslimin pergi menghadang kafilah dagang mereka.

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan bertemu dengan Majdi bin ‘Amr dan bertanya kepadanya, ”Apakah engkau berjumpa dengan seseorang?” Ia menjawab, ”Aku tidak menjumpai seorang pun yang tidak kukenal kecuali dua orang penunggang unta yang berhenti di bukit itu. Kemudian mereka mengambil air dan meletakkannya di tempat air mereka lalu pergi.” Abu Sufyan mendatangi tempat tersebut dan mengambil beberapa buah sisa kotoran hewan mereka. Lalu ia pisahkan dan di dalamnya terdapat biji. Ia berkata, ”Demi Tuhan, ini adalah makanan hewan penduduk Yatsrib (Madinah).” Ia pun akhirnya tahu bahwa kedua orang tersebut tak lain adalah sahabat Nabi Muhammad saw. dan pasukan kaum muslimin ternyata sudah begitu dekat dari tempat.” Abu Sufyan segera kembali ke tengah kafilah sambil memukuli mukanya. Ia alihkan jalur perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, yaitu pesisir pantai demi menghindari daerah Badar menuju ke kiri sehingga kafilah pun terselamatkan.

Kesetiaan Pasukan Muslimin kepada Nabi

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar. Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,

كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ

“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal: 5)

Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1) tetap melanjutkan perang apapun kondisinya, ataukah (2) kembali ke madinah.

Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja. [1]‘” Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya.

Setelah mendengar pernyataan beberapa pemimpin pasukan kaum Muhajirin, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai orang-orang, siapa lagi yang akan melontarkan pendapatnya kepadaku?” Pertanyaan ini Rasulullah maksudkan untuk memancing pendapat dan pandangan dari para pemimpin pasukan Anshar. Sebab, mereka adalah bagian terbesar dari tentara Islam waktu itu. Di samping itu, karena perjanjian Aqabah Kubra pada dasarnya juga tidak mewajibkan masyarakat Anshar untuk melindungi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di luar kota Madinah.

Lantas, Sa’ad ibn Muadz-pembawa bendera Anshar-pun angkat suara. Ia memahami maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Maka, ia pun segera bangkit dan berkata, “Demi Allah, benarkah yang engkau maksudkan adalah kami?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Benar.” Maka Sa’ad berkata, “Kami telah beriman kepadamu, sehingga kami akan selalu membenarkanmu. Dan kami bersaksi bahwa ajaran yang engkau bawa adalah benar. Karena itu, kami berjanji untuk selalu mentaati dan mendengarkan perintahmu. Berangkatlah wahai Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jika itu yang engkau kehendaki. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan nilai-nilai kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu. Sungguh, tidak akan ada satu pun tentara kami yang akan tertinggal dan kami tidak takut sedikit pun kalau memang engkau memper­temukan kami dengan musuh-musuh kami esok hari. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam peperangan dan melakukan pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu berbagai hal dari kami yang dapat memberikan kebahagiaan bagimu. Maka, marilah kita berjalan menuju berkah Allah.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa bahagia dengan ucapan Sa’ad tersebut hingga beliau semakin bersemangat. Kemudian, beliau berkata, “Berjalanlah kalian (menuju medan perang) dan beritahukan berita gembira ini. Karena, Allah telah menjanjikan kepadaku akan memberi salah satu dari kedua belah pihak. Demi Allah, sekarang ini aku seperti melihat tempat kekalahan kaum (Quraisy).” Lalu, mereka pun berangkat.

Doa Rasulullah

Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka. Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang adalah,

“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan disembah…..”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai selendang beliau tarjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai Rasulullah…”

Namun Rasulullah saw. tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah swt. menurunkan firman-Nya, “Ingatlah ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah swt. telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat debu.”

Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,

إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ (12) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (13)

“Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)

Jumlah Pasukan

Kaum Muslimin

Pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. berjumlah 313 orang. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin 82 atau 86 orang, Bani Aus 61 orang, dan kalangan Khazraj 170 orang. Bersama mereka terdapat 2 ekor kuda, satu milik Zubair bin ‘Awwam dan seekor lainnya milik Miqdad bin ‘Amr, serta 70 unta yang mereka tunggangi secara bergantian.

‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Ketika Perang Badar, setiap tiga orang dari kami menungganngi seekor unta. Abu Lubabah, ‘Ali, dan Rasulullah saw. bergantian menaiki unta. Ketika giliran Rasulullah saw. untuk berjalan kaki, keduanya berkata, ‘Kami akan menggantikanmu untuk berjalan kaki.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Kalian berdua tidaklah sekuat diriku, dan aku tidak lebih membutuhkan pahala dari kalian berdua.’“

Rasulullah saw. mempercayakan panji berwarna putih kepada Mush’ab bin ‘Umair. Sementara di hadapan beliau sendiri terdapat dua buah bendera. Di sebelah kanan beliau terdapat Zubair bin ‘Awwam dan di sebelah kiri terdapat Miqdad bin Al-Aswad, serta di belakangnya terdapat Qais bin Abi Sha’sha’ah.

Kekuatan Kaum Musyrikin

Pasukan musyrikin berhasil memobilisasi 950 orang yang kebanyakan mereka berasal dari Quraisy. Bersama mereka terdapat 200 ekor kuda dan unta dalam jumlah yang sangat banyak sekali untuk mereka tunggangi sekaligus membawa perbekalan dan makanan mereka selama di perjalanan.

Orang-orang musyrikin tidak memiliki seorang pemimpin umum. Hanya saja di antara mereka terdapat dua orang terpandang, yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah dan Abu Jahal beserta sekian orang pemuka Quraisy lainnya. Pasukan bangsa Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal.

Tahap Pengintaian

Pasukan muslimin menyusuri jalur yang biasa dilalui oleh kafilah-kafilah dagang yang terbentang di antara Badar dan Kota Madinah. Panjangnya sekitar 60 kilometer. Rasulullah saw. mengutus beberapa orang melakukan pengintaian untuk kepentingan informasi dan keamanan dari kemungkinan serangan tiba-tiba yang kiranya tidak dapat mereka tangani.

Tahap Pertama

Rasulullah saw. mengutus Basbas bin ‘Amr dan ‘Ady bin Abi Zaghba. Mereka pun pergi hingga sampai ke wilayah Badar. Mereka singgah di sebuah bukit dekat dengan sumber air. Lalu mereka mengambil air dan meletakkannya pada tempat air kecil yang mereka bawa lalu meminumnya. Mereka berdua bertugas untuk mengumpulkan informasi. Akhirnya ‘Ady dan Basbas mendengar dua orang anak perempuan dari penduduk sekitar saling berselisih seputar air. Salah seorang dari mereka berkata, ”Besok akan datang rombongan dan aku akan bekerja untuk mereka kemudian aku akan mengganti hari yang seharusnya jadi milikmu.” Mereka berdua kemudian memberitahukannya kepada Rasulullah saw. dan para sahabatnya untuk memberikan analisis atas informasi tersebut.

Tahap Kedua

Kemudian Rasulullah saw. mengutus ‘Ali bin Abi Thalib r.a., Zubair bin ‘Awwam, dan Sa’d bin Abi Waqqash dalam satu regu untuk pergi ke sumber air di Badar sambil mencari informasi. Mereka pun berhasil menawan beberapa orang Quraisy yang bertugas untuk mengambil air. Beberapa dari mereka kemudian masuk Islam, di antaranya budak Bani Hajjaj dan ‘Aridh Abu Yasar budak Bani ‘Ash bin Sa’d. Mereka membawanya kepada Nabi untuk diinterogasi.

Rasulullah saw. menanyai keduanya. Mereka menjawab, ”Kami adalah milik pasukan Quraisy dan kami tidak mengetahui apapun tentang Abu Sufyan.” Rasulullah saw. kembali bertanya, ”Berapa jumlah mereka?” Keduanya menjawab, ”Banyak, kami tidak tahu berapa jumlahnya.” Rasulullah saw. melanjutkan, ”Berapa banyak unta yang mereka sembelih untuk dimakan?” Keduanya menjawab, ”Sembilan, dan hari lainnya sepuluh.” Rasulullah saw. berkata, ”Mereka sekitar 900 sampai 1.000 orang.”

Beliau melanjutkan pertanyaannya, ”Siapa saja pemuka Quraisy yang ikut bersama mereka?” Keduanya menjawab, “’Utbah bin Rabi’ah, Syaibah, Abu Al-Buhturi bin Hisyam, dan Hakim bin Hizam.” Keduanya lalu menyebutkan beberapa orang pemuka Quraisy lainnya. Kemudian Rasulullah saw. berkata, ”Kota Makkah ini telah melemparkan kepada kalian kepingan-kepingan hatinya.” Beliau mengatakannya dengan maksud untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Rasulullah Melakukan Pengintaian

Rasulullah saw. pergi bersama Abu Bakar untuk melakukan pengintaian dan pengumpulan informasi. Beliau berjumpa dengan seorang badui yang sudah tua dan bertanya kepadanya tentang perihal Quraisy, Muhammad serta para sahabatnya, dan semua berita yang berhubungan dengan mereka. Orang tua itu pun menjawab, ”Aku tidak akan memberitahu kalian sebelum kalian mengatakan siapa diri kalian berdua?” Rasulullah saw. menjawab, ”Jika engkau memberitahu kepada kami terlebih dahulu, maka kami pun akan mengatakannya kepadamu.” Orang tua itu berkata, ”Atau itu dengan itu?” Rasulullah saw. menjawab, ”Ya.” Orang tua itu berkata, ”Aku dengar bahwa Muhammad dan sahabatnya keluar pada hari fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat fulan (yaitu di tempat di mana Rasulullah saw. ketika itu berada). Dan aku mendengar bahwa Quraisy keluar pada hari fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat fulan (yaitu tempat di mana pasukan Quraisy berada.)” Setelah selesai berbicara orang tua itu pun bertanya, ”Dari mana kalian berdua?” Rasulullah saw. menjawab, ”Kami dari Maa` (air)” Kemudian ia pergi meninggalkannya. Orang tua itu kembali bertanya, ”Apa itu Maa`? Apakah Maa` yang ada di Irak?”

Rasulullah SAW tidak hanya menyembunyikan identitas, tapi beliau menutup kemungkinan laki-laki itu untuk berpikir bahwa beliau berdua begian dari kelompok Muslim, dengan menanyakan keadaan pasukan Muslim sekaligus pasukan Quraish kepadanya. Tentu cara yang ditempuh Rasulullah SAW ini adalah cara yang amat cerdik.

Peristiwa yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam As Sirah An Nabawiyah (2/459) itu menunjukkan bahwa praktik intelijen telah digunakan sejak masa Rasulullah SAW, juga menunjukkan bahwa beliau sendiri amat memperhatikan pentingnya aktivitas ini, guna melawan kekuatan Quraish.

Kaum Muslimin Menganalisis Informasi

Semua informasi yang diperoleh dari aktivitas intelejen menunjukkan bahwa rombongan kafilah dagang telah selamat dan pasukan orang-orang musyriklah yang kini berada di hadapan mereka. Pasukan Quraisy sekitar 900 hingga 1.000 orang. Di antara mereka terdapat beberapa orang pemuka Quraisy. Jumlah mereka tidak dapat disepelekan. Lalu apakah yang harus dilakukan umat Islam di hadapan informasi-informasi seperti ini?

Demikianlah kedua pasukan semakin berdekatan dan keduanya sama-sama tidak mengetahui apakah yang akan terjadi di balik pertemuan yang menegangkan itu. Itulah latar belakang meletusnya peperangan pertama di dalam sejarah Islam telah Allah swt. susun sedemikan rupa. Sebuah peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Allah swt. berfirman, ”Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepada kalian salah satu dari dua kelompok bahwa ia akan menjadi milik kalian. Kalian berharap bahwa kelompok yang tidak memiliki kekuatanlah yang akan menjadi miliki kalian. Dan Allah swt. ingin menegakkan yang haq dengan kalimatnya, dan memusnahkan orang-orang yang kafir. Agar Ia menegakkan yang hak dan memusnahkan kebatilan meskipun orang-orang berhati durjana tidak menyukainya.” (Al-Anfal: 7-8)

Peperangan dimulai

Kedua pasukan pun akhirnya saling berhadapan. Fanatisme jahiliah begitu tampak jelas pada pada diri orang-orang musyrik. Setiap orang ingin memperlihatkan kedudukan dan keberaniannya. Muncullah kemudian Al-Aswad bin ‘Abdul Asad Al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat sadis dan biadab. Dengan nada tinggi ia menantang, “Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum dari kolam mereka (yaitu kolam yang dibikin oleh orang-orang muslim), atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya.” Ia pun menyerang kolam tersebut. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak. Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawahnya sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam kolam. ‘Utbah bin Rabi’ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan keberaniannya. Tampil pula bersamnya saudaranya, Syaibah dan anaknya Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan Anshar gugur di hadapan mereka. Rasulullah saw. pun kembali menjawab tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga Rasulullah saw. Beliau mengutamakan kemampuan mereka atas dasar keberanian dan pengalaman mereka dalam berperang sudah sangat masyhur. Dengan izin Allah swt. pula akhirnya mereka berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Semangat kaum muslimin kembali terdongkrak dan kekuatan orang-orang kafir pun mulai berjatuhan.

‘Ubaidah (prajurit yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.

Hamzah tidak mengulur-ulur waktu untuk membunuh Syaibah. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati. Peristiwa ini merupakan satu awal yang baik bagi kaum muslimin sekaligus bencana bagi orang-orang musyrikin. Awal yang memilukan ini benar-benar telah membuat mereka berang. Mereka mencoba memancing emosi kaum muslimin, namun umat Islam kala itu mampu menahan diri hingga datang perintah dari Rasulullah saw. untuk melakukan penyerangan.

Inilah korban Badar pertama kali yang menyulut peperangan.

Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah. Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada kesulitan. Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah abadikan dalam firmanNya,

هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)

Setelah pertandingan satu lawan satu usai, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam meminta Ali untuk memberikan segenggam kerikil kepada beliau. Lantas, Ali pun memberikan segenggam kerikil kepada Rasulullah. Dan sesaat kemudian, beliau langsung melemparkannya ke muka pasukan Quraisy. Akibatnya, setiap orang Quraisy yang terkena lemparan itu, kedua matanya penuh dengan kerikil. Karena kejadian ini, turunlah firman Allah: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. Al-Anfal: 17)

Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun terjadi antara pembela Tauhid dan pembela syirik. Mereka berperang karena perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah. Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan dikalahkan dan ditekuk mundur…”

Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”

Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget). Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke medan perang sampai terbunuh.”

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.

Umat Islam benar-benar menunjukkan satu keberanian yang sangat luar biasa. Dan ketika peperangan semakin memuncak hebat, Rasulullah saw. justru maju ke depan barisan. ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika keadaan semakin genting dan pandangan mata memerah, maka kami pun berlindung di dekat Rasulullah saw. Tak seorang pun yang berani lebih dekat dengan musuh selain dirinya. Aku melihat sendiri ketika Perang Badar kami berlindung di dekat Rasulullah saw. dan ketika itu ia adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara kami.”

Pasukan Malaikat Turun Membantu Kaum Muslimin

Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa ketika seorang sahabat mengejar dengan gigih seorang musyrik yang ada di depannya, tiba-tiba ia mendengar suara pukulan dan suara penunggang kuda yang menghentakkan kudanya. Lalu sahabta tersebut melihat orang musyrik itu jatuh tewas terkapar dengan keadaan hidung dan wajahnya terluka berat akibat pukulan keras. Hal tersebut ia ceritaka kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Kau benar, itu adalah pertolongan Allah dari langit ketiga.” (H.R.Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, Ahmad (Bukhari/al-Fath 15/181/no:3995) menceritakan: Seorang laki-laki Anshar berperawakan pendek datang dengan membawa Abbas sebagai tawanan. Di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya orang ini (seraya menunjuk pada orang Anshar tadi) bukan yang menawanku. Aku ditawan oleh seorang laki-laki botak, tetapi sangat tampan dan ia menunggang seekor kuda belang. Sungguh, belum pernah aku melihat orang seperti itu di pasukanmu).” Maka, orang Anshar tadi menyela, “Ya Rasulullah, akulah yang telah menawannya.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam spontan berkata, “Diam … Allah telah memberikan kekuatan kepadamu dengan bantuan para malaikat yang mulia.”

Umawi (Bukhari/al-Fath 15/180/no:3995) menuturkan: Saat berada di dalam kemahnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengangguk sebanyak satu kali (seperti terserang rasa kantuk) kemudian tersadar. Setelah itu, beliau berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, kabarkanlah berita gembira ini. Sesungguhnya bantuan Allah telah datang kepadamu. Aku melihat Jibril tengah melipat penutup kepalanya, mengambil tali kendali kudanya, dan akan mengendarainya ke tengah-tengah peperangan yang tengah bergejolak. Sungguh, bantuan dan pertolongan Allah telah datang kepadamu.”

Kemenangan pada perang Badar menjadi pesta di kalangan para malaikat karena peristiwa ini adalah pertama kalinya mereka diizinkan terjun ke gelanggang perang di bawah komando Jibril dengan seribu pasukan malaikat pilihan.

“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan kepadamu bala bantuan dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Q.S.An Anfal:9)

Para Malaikat yang terlibat dalam Perang Badar memiliki kemuliaan di antara semua malaikat. Rafi’ah bin Rafi’ Az Zarqi mengatakan, “Jibril berkata kepada Nabi SAW dan berkata: Bagaimana kalian menganggap veteran Badar di antara kalian? Rasulullah menjawab: Termasuk muslimin yang paling mulia. Jibril berkata: demikian pula malaikat yang mengikuti perang Badar.”

Allah SWT menyatakan bahwa bantuan berupa pasukan malaikat itu adalah untuk memberikan bukti lahiriah yang menenteramkan hati orang-orang beriman. Tetapi selanjutnya Allah SWT menegaskan, janganlah menganggap bahwa kemenangan itu karena pertolongan malaikat. Karena sesungguhnya kemenangan dan pertolongan itu datangnya dari Allah SWT semata, yang telah berkenan mengirimkan pasukan malaikat tersebut.

Para malaikat itu diperintah oleh Allah SWT untuk melakukan apa saja seperti Firman-Nya dalam Surat Al-Anfal Ayat 12:

Ketika Allah mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku beserta kamu sekalian, maka teguhkanlah (hati) orang-orang beriman. Akan Aku timpakan kedalam hati orang-orang kafir rasa ketakutan. Maka tebaslah leher mereka dan juga jari-jemari mereka.

Dari Ayat ini kita memperoleh pengetahuan bahwa para malikat itu tidak hanya menguatkan hati dan meneguhkan pendirian orang-orang mukmin, melainkan juga berperan aktif secara fisik dalam pertempuran. Abu Dawud Mazani dan Suhail bin Hanif meriwayatkan bahwa, “Ketika kami baru mengarahkan pedang kami kepada lawan, leher mereka telah terpenggal sebelum pedang kami menyentuh mereka.” Adalah kenyataan bahwa para malaikat itupun melaksanakan tugas bertempur. Ayat 50 dari Surat Al-Anfal menguraikan lebih jauh bagaimana kiprah para malaikat di medan pertempuran itu:

Dan Jika saja kamu dapat menyaksikan ketika para malaikat itu mencabut jiwa orang-orang kafir itu, dihantamnya wajah-wajah mereka dan punggung-punggung mereka seraya berkata, “Rasakanlah olehmu siksaan api yang membakar.” Ayat ini menerangkan, bahwa ketika para malaikat memisahkan jiwa orang-orang kafir itu dari tubuh mereka, mereka pun disiksa dengan pukulan cambuk besi yang panas membara ke wajah dan punggung mereka.

Peristiwa menarik lainnya selama terjadinya pertempuran adalah kehadiran Syeitan dalam wujud Surakah bin Malik, pemimpin Banu Bakr, bergabung dengan pasukan kafir. Syeitan menjadikan perbuatan jahat orang-orang kafir tampak wajar bagi diri mereka, dan mengobarkan semangat tempur orang-orang kafir dengan perkataan yang dijelaskan Allah SWT didalam Surat Al-Anfal Ayat 48,

Dan syeitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, dan mengatakan: “Tak seorang manusiapun yang bisa menang melawan kalian pada hari ini, dan akulah pelindung kalian.” Ketika pasukan kedua belah pihak sudah saling berhadap-hadapan, syeitan berbalik arah melarikan diri seraya berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian, aku melihat (pasukan malaikat) apa yang tidak bisa kalian lihat. Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksanya.”

Dalam perang Badar ini, banyak sekali tentara kaum muslimin yang mendapatkan karamah dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Salah satunya adalah yang dialami oleh Ukkasah ibn Mihshan. Syahdan, ia berperang dengan mempergunakan pedangnya hingga pedang itu patah. Maka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memberikan kepadanya sebatang kayu sebagai ganti pedangnya agar ia terus bertempur. Namun, tiba-tiba kayu itu berubah menjadi pedang yang berukuran panjang, sangat kuat, dan mengkilat. Lalu, Ukkasah mempergunakan pedang tersebut pada perang Badar dan perang-perang yang lainnya hingga akhirnya mengantarkan Ukkasah pada pintu kesyahidan. Peperangan terakhir yang ia ikuti adalah perang Yamamah. Saat itulah ia gugur sebagai syahid.

Kematian Abu Jahal

‘Abdurrahman bin ‘Auf berkatan, “Ketika Perang Badar aku benar-benar berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat belia sekali. Seakan-akan aku tidak yakin akan keberadaan mereka. Aku berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku sambil berbisik, ‘Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal.’ Kukatakan kepadanya, ‘Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?’ Pemuda itu kembali berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah. Aku pun berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.’ Aku pun tercengang kaget dibuatnya. Lalu yang lainnya langsung memelukku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang. Aku berkata, ‘Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.’ Mereka pun saling berlomba menghayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal.”

Dalam salah satu riwayat, ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku akan merasa senang sekali seandainya aku berada di antara mereka berdua. Maka kutunjukkan kepada mereka yang mana Abu Jahal. Mereka pun meluncur layaknya dua ekor elang hingga mereka berhasil membunuhnya.” Kedua pemuda belia itu adalah anak ‘Afraa. ‘Abdullah bin Mas’ud mendapati Abu Jahal dengan sisa-sisa nafas terakhirnya. Kemudian ia pun langsung membunuhnya. Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Siapa yang pernah melihat apa yang telah dilakukan oleh Abu Jahal?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Ia pun bergegas pergi. Lalu ia menemukannya lemas di tangan kedua anak ‘Afra. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku pun menarik jenggotnya. Dan kukatakan, ‘engkau Abu Jahal!” Ia menimpali, “Apakah di atas Abu Jahal ada laki-laki lain yang telah kalian bunuh?” kemudian ia pun membunuhnya lalu memberitahukannya kepada Rasulullah saw.

Terbunuhnya Umayyah bin Khalaf

Umayyah bin Khalaf merupakan salah seorang pemuka Quraisy di Kota Makkah yang pernah menyiksa Bilal dan orang-orang mukmin yang tinggal di sana. Peperangan Badar benar-benar telah membuatnya kehilangan akal dan pikiran. Sampai-sampai ia berteriak-teriak meminta pertolongan agar menyelematkan dirinya dari tengah peperangan tersebut.

‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Ia berdiri bersama anaknya dengan penuh kebingungan. Waktu itu aku membawa beberapa buah baju besi yang telah menjadi harta rampasan perangku. Ketika ia melihatku, ia pun memanggilku.

“Wahai hamba Tuhan!”

“Ya,” jawabku.

“Apakah engkau akan menjadikan kami berdua sebagai tawanan perang? Diriku lebih baik dari baju-baju besi yang ada ditanganmu itu. Barangsiapa yang menawanku, maka niscaya aku akan menebusnya dengan unta yang banyak susunya.”

‘Abdurrahman berkata, “Kulemparkan baju besi itu dan kuraih tangan mereka berdua. Sementara itu ia berkata, ‘aku tidak pernah melihat situasi seperti hari ini sebelumnya.‘ Kemudian ia berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah, siapakah orang yang dikenal dengan bulu yang lembut di dadanya?‘” ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan kepadanya, ‘Hamzah bin Abi Muththalib.” Lalu ia berkata, “Itulah orang yang telah melakukan ini dan itu kepada kami.” ‘Abdurrahman berkata, “Demi Allah, aku akan benar-benar membalas mereka berdua jika Bilal melihatnya bersamaku. Dialah yang dulu menyiksa Bilal di Makkah karena ego jahiliah terhadap Islam. Ketika Bilal melihatnya, ia pun berkata, “Pentolan orang kafir Umayyah bin Khalaf. Aku tidak akan selamat jika ia selamat!” ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan, ‘wahai Bilal, ia adalah tawananku.” Bilal kembali berkata, “Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat.” Kemudian dengan nada lantang ia berteriak, “Wahai orang-orang Anshar, pentolan orang kafir adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat.” Orang-orang pun berkumpul mengelilingi kami. Lalu aku ikut bersama mereka. Salah seorang mengayunkan pedangnya ke kakinya hingga ia terjatuh. Umayyah berteriak histeris, sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya. ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan kepada Umayyah, “Selamatkanlah dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi keselamatan bagi dirimu! Demi Allah, aku tidak akan menolongmu sedikitpun.” Ia berkata, “Orang-orang pun berkumpul dan menghajarnya dengan pedang-pedang mereka sampai mereka membereskan keduanya.”

‘Adurrahman berkata, “Semoga Allah swt. senantiasa merahmati Bilal, ia telah menyakitiku dengan baju besi dan tawananku!!!” Demikianlah, barangsiapa yang berselisih dengan Allah, maka ia pun akan kalah. Dan barangsiapa yang menantang Allah swt. dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang-orang yang begitu terhina. Dan barangsiapa yang bersikap semena-mena terhadap hamba-Nya, maka niscaya Ia akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Ia jadikan dirinya sendiri sebagai pelajaran dan tanda kekuasaan-Nya. Dan azab akhirat itu benar-benar lebih menyakitkan dan lebih dahsyat.

“Dan Allah Maha Menguasai urusan-Nya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya.”

Kemenangan Kaum Muslimin

Menjelang berakhirnya perang, pasukan Muslim terbagi dalam tiga kelompok. Satu kelompok mengejar pasukan kafir yang melarikan diri agar tidak kembali lagi. Kelompok ke-dua mulai mengumpulkan sisa-sisa perang yang berserakan di arena pertempuran, mereka ini muslim yang miskin dan begitu gembira mendapatkan aneka barang milik musuh yang kaya yang ditinggalkan di medan pertempuran. Adapun kelompok ke-tiga berdiri mengelilingi Nabi Muhammad SAW, berjaga-jaga jika saja ada seorang musuh yang menyelinap hendak mencelakai Rasulullah SAW. Ketika tiga kelompok ini berkumpul lagi di malam hari, timbul permasalahan diantara mereka perihal pembagian harta sisa perang. Kelompok pengumpul menganggap itu adalah hak mereka mengingat merekalah yang memungut harta-benda itu langsung dari arena pertempuran.

Kelompok yang lain berpendapat bahwa sudah selayaknya mereka mendapat bagian mengingat merekalah yang memungkinkan adanya kesempatan kelompok lain mengumpulkan harta-benda yang ditinggalkan musuh, sementara mereka mengejar-ngejar musuh yang berlarian menyelamatkan diri. Kelompok ke-tiga mengatakan bahwa merekapun berhak atas pembagian harta itu karena mereka telah melakukan hal terpenting, yakni melindungi Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit RA, bahwa ini adalah persoalan serius sehingga diantara mereka mulai bertingkah tidak lagi saling menghargai satu sama lain. Sejauh itu belum ada perintah perihal pembagian harta sisa ini. Pada umat-umat terdahulu, mereka dilarang memanfaatkan harta sisa perang. Biasanya mereka menyusun harta itu membentuk tiang sehingga jika petir menyambar dan membakar tumpukan harta-benda itu, itulah pertanda bahwa perjuangan (jihad) mereka diterima.

Allah SWT mewahyukan perintah pembagian harta sisa perang itu secara terperinci kepada Nabi Muhammad SAW. Ini terdapat didalam Surat Al-Anfal. Segera setelah para sahabat hadir untuk mengetahui isi petunjuk Allah SWT ini, perbedaan pendapat diantara mereka pun sirna. Harta itu dibagikan kepada semua yang berpartisipasi dalam pertempuran sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Hal ini merupakan kemurahan Allah SWT sebagai hadiah untuk umat Nabi Muhammad SAW, berupa kenikmatan dan penghargaan kepada mereka dengan dijinkan-Nya memanfaatkan harta-benda yang tersisa dari peperangan. Peristiwa ini juga mengajarkan kepada kita bagaimana para sahabat Rasulullah SAW pada waktu itu bersatu-padu penuh semangat dalam mengikuti petunjuk dari Allah SWT.

Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul mundur. Pasukan kaum muslimin berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di antara mereka. Ada tujuh puluh orang kafir terbunuh dan tujuh puluh yang dijadikan tawanan. Di antara 70 yang terbunuh ada 24 pemimpin kaum Musyrikin Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di Badar. Termasuk diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.

Pada peperangan ini, kaum muslimin berhasil membunuh 70 orang dari kalangan orang-orang musyrikin dan menahan sekitar 70 orang. Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuh 2 orang tawanan karena permusuhan dan kebencian mereka yang sudah di luar batas, selain mereka berdua adalah orang yang paling banyak melakukan kelaliman. Status keduanya lebih sebagai penjahat perang, bukan lagi sebagai tawanan perang. Karena selama ini mereka begitu berambisi untuk berbuat makar kepada umat Islam dan menyiksa orang-orang yang lemah dari kalangan mereka. Keduanya terkenal begitu menantang Allah swt. dan Rasul-Nya. Sehingga jumlah tawanan tersisa 68 orang.

Rasulullah saw. meminta pendapat para sahabatnya seputar apa yang akan mereka perbuat terhadap tawanan perang tersebut. ‘Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakan, memerangi, dan mengusirmu. Menurutku sebaiknya kau izinkan aku untuk menebas leher fulan (yaitu kerabatnya sendiri). Dan kau izinkan Hamzah untuk membunuh ‘Abbas, dan ‘Ali membunuh ‘Uqail. Begitulah agar orang tahu bahwa tidak ada kecintaan sedikitpun di dalam hati kami terhadap orang-orang yang musyrik. Aku melihat bahwa engkau tidak perlu menjadikan mereka sebagai tawanan. Tebaslah semua leher mereka. Prajurit, para pemimpin, dan pemuka mereka.” Usulan ini disetujui oleh Sa’d bin Mu’adz dan ‘Abdullah bin Rawahah.

Sementara Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, mereka itu adalah kaum dan keluargamu juga. Allah swt. telah menganugerahkan kemenangan kepadamu. Menurutku sebaiknya engkau biarkan saja mereka sebagai tawanan dan kau minta dari mereka tebusan. Sehingga tebusan tersebut dapat menjadi sumber kekuatan kita untuk menghadapi orang-orang kafir. Dan semoga Allah swt. memberikan petunjuk-Nya kepada mereka melalui dirimu sehingga mereka pun akan menjadi pembelamu.”

Akhirnya Rasulullah saw. mengambil pendapat Abu Bakar. Beliau pun membagi-bagikan sisa tawanan (68 orang) kepada sahabat-sahabatnya sambil berpesan, “Perlakukanlah para tawanan itu dengan baik” kemudian beliau menerima tebusan dari para tawanan tersebut. Orang kaya akan membayar satu orang tawanan sebesar sekitar 1.000 hingga 4.000 dirham. Sementara orang-orang miskin, sebagian mereka dibebaskan begitu saja tanpa dimintai tebusan. Beliau pun menuntut dari para tawanan yang memiliki ilmu untuk mengajarkan kepada anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis sebagai tebusan bagi diri mereka.

Abu ‘Aziz bin ‘Umair bin Hasyim, saudara Mush’ab bin ‘Umair, menjadi tawanan Abu Yusr Al-Anshari. Suatu hari Abu ‘Aziz lewat dan bertemu dengan saudaranya Mush’ab. Mush’ab pun berkata kepada Abu Yusr, “Tahanlah tanganmu dari tawananmu, karena ibunya adalah seorang yang kaya. Ia akan menebusnya untukmu dengan harta yang banyak. Abu ‘Aziz, saudaranya berkata, “Wahai saudaraku, ini adalah perlakuanmu kepadaku?” Mush’ab berkata kepadanya, “Sesungguhnya ia (Abu Yusr) adalah saudaraku selain dirimu.”

Dan ketika tebusannya diminta, ibunya bertanya berapa tebusan terbesar yang diberikan untuk membebaskan orang Quraisy. Maka dikatakan kepadanya 4.000 dirham. Wanita itu pun mengirim 4.000 dirham dan menebus anaknya. Demikianlah bagaimana ukhuwah imaniah ternyata lebih berharga dari sekedar jalinan persaudaraan yang dibangun atas dasar pertalian darah dan keturunan. Karena ukhuwah imaniah adalah persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran dan di jalan Allah swt.

Menantu Rasulullah pun menjadi tawanan perang

Abu ‘Ash bin Rabi’ bin ‘Abdul ‘Uzza tertawan ketika Perang Badar. Ia adalah menantu Rasulullah saw., suami dari putri beliau, Zainab. Abu ‘Ash merupakan orang Makkah yang cukup diperhitungkan dari segi harga, kejujuran, dan perdagangannya. Ibunya adalah Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid. Khadijahlah yang dulu meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkan lelaki itu kepada putri beliau, Zainab. Khadijah sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dan karena pertimbangan itulah Rasulullah saw. tidak menolak permintaan istrinya tersebut. Hal ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi.

Namun ketika wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah saw. dan orang-orang Quraisy pun mulia memusuhinya, Abu Lahab berkata, “Buatlah Muhammad sibuk dengan dirinya sendiri, dan ceraikanlah putri-putrinya dari suami-suami mereka.” Ia pun memerintahkan putranya, ‘Utbah hingga akhirnya ia menceraikan putri Rasulullah saw. Ia juga mendatangi Abu ‘Ash bin Rabi’dan memintanya untuk menceraikan Zainab. “Ceraikanlah istrimu, setalah itu kami akan menikahkanmu dengan perempuan Quraisy mana saja yang kau inginkan.” Abu ‘Ash menjawab, “Tidak, demi tuhan, aku tidak akan menceraikannya. “Aku tidak ingin wanita Quraisy menggantikan istriku.”

Rasulullah saw. memuji sikapnya kala itu. Dan ketika penduduk Makkah membawa tebusan bagi tawanan perang, Zainab pun membawa harta untuk menebus suaminya, Abu ‘Ash. Ia membawa sebuah kalung yang dihadiahkan oleh ibunya, Khadijah, ketika ia menikah dengan Abu ‘Ash. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, hatinya pun langsung terenyuh dalam. Beliau berkata, “Jika kalian bersedia untuk membebaskannya dan mengembalikan barang miliknya, maka lakukanlah.” Sahabat menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah.” Mereka pun membebaskan Abu ‘Ash dan mengembalikan kalung milik Zainab. Hal ini beliau lakukan karena Abu ‘Ash membiarkan Zainab turut berhijrah ke kota Madinah. Rasulullah saw. sendiri telah membebaskan beberapa orang tawanan perang tanpa ada tebusan ataupun bayaran sedikitpun, mengingat kondisi mereka yang menuntut untuk hal tersebut

0 komentar:

Posting Komentar