Minggu, 24 Oktober 2010

Mengenal Sejarah Aceh Darussalam

M. Rizal Ismail (bahan khutbah)

Kuta Raja atau sekarang dikenal dengan Banda Aceh adalah ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak di ujung pulau Sumatera. Sebagian besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi laut, yaitu sebelah utara, barat, barat daya dan timur. Hanya pada bagian tenggara berbatasan dengan daratan, yaitu Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari letak geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat strategis, karena ia merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia.
Semenjak zaman neolitikum, selat Malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi bangsa-bangsa di Asia, dalam gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia serta jalan penghubung utama dua kebudayaan besar, Cina dan India. Muncul dan berkembangnya negara-negara sekitar selat Malaka tidak dapat dipisahkan dari letak geografis yang sangat strategis itu. Muncul Banda Aceh sebagai pusat politik dan pemerintahan di antaranya karena faktor letak tersebut.
Aceh sudah dikenal semenjak permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi).[1] Berita tertua dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi), menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut isi catatn Cina tersebut penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan, hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat ini identik dengan Aceh berdasarkan letaknya.[2]
Berita tentang Poli dijumpai dalam catatan Cina. Berita pertama terdapat dalam catatan Dinasti Leang (502-556 M) kemudian dari Dinasti Sui (581-617 M) dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908 M).[3] Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat, De Casparis, mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan, Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo, apabila penetapan ini benar maka kita mempunyai satu pegangan yang penting.[4]
Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal, sehingga jika dituruti cara mengeja dalam naskah, maka tidak akan mungkin sama sekali bahwa nama itu akan dibaca Lamuri atau Lamiri.[5] Dalam buku Sejarah Melayu disebut dengan Lamiri (L.m.y.r.y).[6]
Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943) dan Buzurg bin Shahriar (955) semuanya penulis Arab. Mereka telah menyebut negeri ini dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas’udi menyebutkan pula bahwa Ramni takluk di bawah Mahara Sriwijaya.[7]
Berita Cina yang paling tua berasal dari tahun 960 M, di dalamnya sudah disebutkan dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka.[8]
Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit dalam tahun 1225 M menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li yang kemungkinan besar adalah Lamri.[9] Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memeliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengenderai seekor gajah. Apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim timur laut, maka ia akan tiba di Ceylon di dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kubilai Khan dari Jawa.[10]
Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor (Sumatera) ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar upeti.[11] Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin menyebut untuk pertama kalinya, bahwa tempat-tempat penting “ di pulau Lumari yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang.[12]
Seperti sudah dijelaskan di atas, semenjak tahun 1286 Lamri telah mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming dijelaskan pada tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat dan pada tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho.[13] Tahun 1412M raja Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang secara teratur dikirim setiap tahun terdapat nama Sha-che-han putera Mu-ha-ma-sha.[14] Sewaktu Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bahagian pula. Ada kemungkinan bahwa pengiriman hadiah-hadiah bukan untuk pertama kalinya, karena lonceng bernama Cakra Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M.[15] Namun, menurut perkiraan Tichelman bahwa lonceng Cakra Donya itu dibawa dari Pase ke Aceh sesudah kerajaan itu dapat disatukan oleh Ali Mughayat Syah.[16]
Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan disebutkan bahwa Lamri terletak tiga hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik. Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bahagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia) dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Lamri terletak di tepi laut.[17]
Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamri.[18] Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee.[19] Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee.
Dalam naskah Hikayat Aceh disebutkan teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut laut Lamri terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra.
Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pedangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Semenjak itu, Lamri lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.[20]
Dalam buku Bustanussalatin yang ditulis oleh Nuruddin Arraniry, dalam urutan Raja-raja Aceh yang tercantum dalam buku tersebut dimulai dari Sultan Ali Mughayat Syah. Oleh karena itu, sebagaian ahli berpendapat bahwa kerajaan Aceh dimulai semenjak raja tersebut memerintah sekitar pada tahun 1516 M.[21] Namun banyak juga yang berpendapat bahwa nama Aceh sudah tua sekali, walaupun tidak setua Lamri tetapi setidaknya kerajaan Aceh telah tumbuh dan berkembang bersamaan. Raja-raja yang pertama di Aceh berkedudukan di Kandang Aceh. Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa Sultan Mahmud Syah telah meindahkan istananya ke Daruddunia sesudah memerintah di Kandang Aceh selama 43 tahun. Aceh belum dikenal sebelum tahun 1500M oleh orang-orang asing karena terletak lebih 1 mil ke pedalaman sehingga tidak banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan perjalanan atau pelayaran antara India dan Cina. Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun 1205 M dan berkedudukan di Kandang Aceh.
Sudah dijelaskan di atas, Lamri sesudah pusat kerajaannya dipindahkan, lebih dikenal dengan nama Makota Alam, sedangkan Aceh sesudah pusat kerajaannya dipindah ke Daruddunia, dipindah lagi ke Darul Kamal. Semenjak itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal atau Aceh Darul Kamal.[22] Dengan demikian, pada penghujung abad XV di lembah Aceh terdapat 2 buah kerajaan yaitu Makota Alam dan Kerajaan Darul Kamal yang daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Kedua belah pihak tidak pernah hidup rukun. Peperangan sering terjadi tetapi tidak satu pun di antaranya mengalahkan lawannya walaupun kerajaan Makota Alam memperkuat persenjataannya dengan mendatangkan meriam dari luar negeri melalui teluk Lamri. Pertentangan kedua kerajaan itu berakhir setelah Makota Alam yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Syamsu Syah putra Munawar Syah melakukan suatu siasat. Dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syamsu Syah berpura-pura mengakhiri permusuhan yang berlarut-larut dengan cara menjodohkan puteranya Ali Mughayat Syah dengan puteri kerajaan Darul Kamal. Perminangan itu diterima oleh Sultan Muzaffar Syah putera Inayat Syah yang pada waktu itu memerintah di Darul Kamal. Dalam arakan-arakan mengantarkan mas kawin ke Darul Kamal, dalam arak-arakan itu disembunyikan senjata-senjata, alat perang. Sesampainya di Darul Kamal pasukan Makota Alam mengadakan serangan tiba-tiba terhadap Darul Kamal. Banyak pembesar-pembesar Darul Kamal dan Sultan Muzaffar Syah sendiri terbunuh. Semenjak itu, Sultan Syamsu Syah dari Makota Alam memerintah kedua kerajaan itu.
Putera Inayat Syah yang bernama Alauddin Riayat Syah pada waktu peristiwa itu berada di daerah Daya, tidak kembali lagi ke Darul Kamal dan mendirikan kerajaan Daya. Pada tahun 1516 M Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya Sultan Syamsu Syah.[23] Pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Daruddunia (Banda Aceh) dan semenjak itu kedua kerajaan yang sudah dipersatukan itu diberinama Kerajaan Aceh Darussalam dengan pusat kerajaannya disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Perkembangan kerajaan Aceh sesudah Ali Mughayat Syah naik tahta, terutama semenjak tahun 1520 M telah menentukan nasib kerajan-kerajaan kecil lainnya pada waktu itu. Perlak, Samudera Pasai, Pidie dan lain-lain disatukan dalam wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu dilakukan untuk menyatukan kegiatan perdagangan dengan memusatkan di pelabuhan Bandar Aceh karena sebelumnya, kegiatan perdagangan berada di pelabuhan-pelabuhan sekitarnya. Selain itu, untuk menyatukan kekuatan dalam rangka menghadapi ancaman musuh.[24] Perluasan kerajaan Aceh Darussalam adalah sebagai jawaban atas pendudukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511 M. Usaha itu mendapat dukungan pedagang-pedagang Islam yang melarikan diri dari Malaka. Hal itu menyebabkan timbulnya konfrontasi terus-menerus antara kerajaan Aceh dengan Portugis dalam waktu yang lama sekitar 125 tahun. Pertentangan itu pada hakekatnya tentu bersumber pada pertentangan agama dan bermuara dalam persaingan politik dan ekonomi. Kerajaan Aceh Darussalam tersebut berakhir pada tahun 1903, ketika Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.
Kerajaan Aceh berusaha menjalin kerjasama dengan kerajaan Islam seperti Turki dan lain-lain. Pinto, seorang Portugis mencatat bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli dan sejumlah besar alat-alat senjata yang diangkut oleh kapal-kapal Aceh sendiri. Di samping itu, pada sekitar tahun 1538 M seorang Admiral Angkatan Laut Turki yaitu Laksamana Sidi Ali Celebi berada di India untuk mengawasi operasi dari kesatuan gabungan Angkatan Laut Negara-negara Islam dalam usaha membantu kerajaan Aceh melawan Portugis di Malaka dan di perairan Selat Malaka.[25]
Menjelang berakhirnya abad ke-16, fajar kegemilangan kerajaan Aceh mulai bersinar. Pada tahun 1607 M, Iskandar Muda diangkat menjadi Sultan Aceh. Perhubungan dengan berbagai negara berkembang dengan baik di antaranya termasuk pula dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis dan lain-lain. Dengan Belanda diadakan hubungan yang bersejarah dan berlangsung selama kedua belah pihak saling menghormati dan saling menguntungkan. Duta besar pertama bangsa asing yang berkunjung ke negeri Belanda adalah duta besar kerajaan Aceh yang bernama Abdul Hamid, Laksamana Sri Muhammad dan seorang bangsawan bernama Mir Hasan. Mereka meninggalkan Aceh pada 29 Juli 1601 dan tiba di negeri Belanda pada 6 Juli 1602. Abdul Hamid yang sudah berusia 70 tahun meninggal dunia di Zeeland dan dimakamkan di sana.[26]
Iskandar Muda berhasil membawa kerajaan Aceh ke zaman keemasan dan kegemilangan. Luas kerajaan Aceh sudah meliputi sebagian besar Sumatera Utara, Tengah dan sebagian Malaysia. Pemerintahan teratur rapi, sistem perdagangan dan perhubungan luar negeri cukup teratur. Demokrasi dalam pemerintahan dan pembagian kekuasaan antara berbagai lembaga pemerintahan yang disesuaikan dengan kekuatan sosial dalam masyarakat menyebabkan Iskandar Muda dapat memerintah dengan aman. Keadaan ini berlainan dengan sultan-sultan Aceh sebelumnya. Iskandar Muda adalah contoh seorang raja yang taat kepada hukum yang berlaku dalam negerinya. Hal itu dibuktikan dengan peristiwa hukuman mati kepada anak kandungnya sendiri yang melanggar hukum. Pada masanya pula hukum-hukum yang berlaku dikodifikasikan yang kemudian terkenal dengan Adat Meukuta Alam. Patriotisme yang ditanamkan pada setiap rakyatnya merupakan contoh abadi pada setiap putera-puteri Aceh berabad-abad kemudian. Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh teladan yang tidak habis-habisnya bagi rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya tentang kesetiaan yang tulus terhadap tanah air. Walaupun ia tidak berhasil menghancurkan Portugis di Malaka, tetapi ia telah memaksa Portugis terpaku di kota tersebut sehingga tidak berdaya berbuat sesuka hati di kawasan selat Malaka.
Sesudah Iskandar Muda meninggal masih satu abad lamanya kerajaan Aceh merupakan kekuatan yang disegani dan dihormati oleh lawan dan kawan. Pada abad ke-19 adalah abad di selat Malaka terjadi persaingan antara Inggris, Belanda dan Aceh. Meskipun Aceh di bawah Sultan Ibrahim Mansyur Syah berusaha memperbaiki posisi kerajaan Aceh di dunia internasional dengan perbaikan-perbaikan pemerintahan dan meningkatkan kerjasama internasional dengan beberapa negara seperti Amerika, Italia, Perancis dan Jepang, tetapi usaha tersebut sia-sia. Persekongkolan negara-negara imperialis telah melahirkan persetujuan-persetujuan yang tidak menguntungkan kerajaan Aceh. Persetujuan yang dicapai antara Inggris dan Belanda yang terkenal dengan Traktat Sumatera, telah menyebabkan perang antara Belanda dan Aceh tidak terelakkan.
Demikian beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan sejarah kerajaan Aceh. Banda Aceh Darussalam sebagai pusat kerajaan Aceh dalam perkembangan sejarahnya tentu berkaitan erat dengan perkembangan sejarah kerajaan Aceh sendiri. Dilihat dari sudut geografis letak Banda Aceh di pesisir dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan letak kota pusat kerajaan tersebut erat kaitannya dengan kepentingan militer dan ekonomi, oleh karena itu Banda Aceh adalah kota pusat kerajaan bercorak maritim. Masyarakat bercorak maritim lebih menitikberatkan kehidupannya kepada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat hubungannya dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Sesudah Malaka dikuasai Portugis banyak pedagang-pedagang Islam yang pada umumnya tidak disukai, mereka mencari tempat-tempat baru di sekitar selat Malaka sebagai ganti Malaka. Sebagian besar dari mereka berpindah ke Banda Aceh. Sebagai kota maritim dan pusat kerajaan, maka kekuatan militer lebih dititikberatkan pada angkatan laut. Semenjak terbentuknya kerajaan Aceh, sultan-sultannya berusaha membangun angkatan laut. Pada puncak kejayaannya kerajaan Aceh memiliki enam ratus buah kapal yang terdiri atas lima ratus buah kapal layar dan seratus buah galley yang penempatannya sebagian besar berada di pusat kerajaan. Kapal galley adalah kapal yang berukuran besar yang dapat memuat 600 hingga 800 orang penumpang. Agustin de Bealieu yang telah menyaksikan kapal tersebut mengatakan bahwa kapal-kapal itu besarnya tiga kali lebih besar dari kapal-kapal yang dibangun di Eropa pada masa itu.[27] Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cakra Donya. Dalam laporan Agustin de Beaulie diketahui pula bahwa pasukan gajah merupakan inti pasukan darat yang jumlahnya 900 ekor.[28] Binatang itu dilatih sedemikian rupa sehingga tidak takut kepada api dan suara-suara tembakan. Alat-alat kebutuhan militer berupa mesiu dapat diproduksi sendiri karena tersedia belerang di pulau Weh dan pegunungan dekat Pidie. Minyak yang banyak terdapat di Aceh Timur telah dimanfaatkan untuk kebutuhan militer yang digunakan untuk membakar kapal-kapal musuh. Alat-alat persenjataan lain yang dimiliki berupa 2000 pucuk meriam, yang terdiri atas 800 meriam besar dan 1200 meriam biasa.[29] Pada setiap saat kerajaan Aceh dapat mengerahkan bala tentara berpuluh ribu yang sebagian berdomisili di Banda Aceh dan sebagiannya diambil di Pidie dan tempat lain.[30]

B. Tata Letak
Kota-kota kuno di Indonesia mempunyai struktur sosial dan marfologi yang umum dan jelas, seperti adanya tumbuh-tumbuhan sehingga kota-kota tersebut terlindungi.[31] Sesuai dengan lokasinya, kota-kota kuno tersebut dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, kota-kota pantai (coastal cities), baik yang terletak di muara sungai atau bukan, seperti Banda Aceh. Kedua, kota-kota pedalaman, seperti Surakarta dan Yogyakarta. Dari segi marfologi kedua tipe kota tersebut memiliki ciri-ciri atau komponen yang hampir bersamaan, yaitu alun-alun, istana, mesjid dan pasar di pusat kota.[32]
Secara umum, kota Bada Aceh termasuk dalam kategori kota Islam bercorak maritim. Kota-kota Islam yang bercorak maritim pada umumnya terletak di pesisir dan di muara-muara sungai. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak menitikberatkan kepada perdagangan dan kekuatan militernya diarahkan kepada kekuatan angkatan laut.
Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan Aceh berkembang di pinggir sungai dan pada jalur lalu lintas perdagangan dengan dunia luar. Sungai berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota, walaupun muaranya sedikit dangkal dan wilayahnya agak sulit serta muaranya berawa-rawa. Banda Aceh tersebut terletak pada suatu daratan rendah dengan tanah subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan.[33]
Letak istana kerajaan Aceh yang dinamakan Daruddunia itu menghadap ke barat laut, hampir sama dengan istana kerajaan lain di Indonesia yang menghadap ke utara, hal itu dapat dilihat pada peta yang dibuat oleh orang asing seperti Portugis dan Belanda serta peninggalan-peninggalan sejarah. Di sekeliling istana dibuat danau dan sungai buatan yang mengalir di tengah istana yang dinamakan Darul Asyiki. Di samping itu, bagian penting dari istana yang dinamakan dalam dikelilingi tembok dan di tempat itu pula bangunan tempat kediaman sultan didirikan. Kelengkapan lain adalah Taman Sari yang dinamakan Taman Ghairah, sungai Darul Asyiki mengalir juga di tengah-tengahnya. Di sebelah barat istana oleh Iskandar Muda dibangun sebuah mesjid raya (Mesjid Jamik) yang dinamakan Baiturrahman, sedangkan mesjid dalam istana dinamakan Baiturrahim. Di samping itu terdapat sejumlah mesjid kecil lainnya dalam kota.

C. Masyarakat
Masyarakat kota pada waktu itu bersifat heterongen namun homogen. Pada setiap kampong dihuni oleh sekelompok penduduk yang pada umumnya bersifat homogen, baik dalam arti profesi, lapisan sosial, ras dan mungkin juga agama. Jumlah penduduk kota pada waktu itu belum ada catatan yang pasti. Hal itu karena terbatasnya sumber-sumber, lagi pula cara-cara sensus penduduk belum menjadi kebiasaan dan kalaupun ada angka untuk itu hanya bersifat perkiraan. Hanya didapat keterangan bahwa sultan dapat mengerahkan sekitar 30.000 prajurit dalam waktu sepuluh hari ; hal itu berarti jumlah penduduk sekitar 120.000, tetapi jumlah di atas harus dihitung jumlah laki-laki yang mampu berperang, baik dari dalam kota maupun yang dikerahkan dari luar kota.[34]
Pada tahun 1570-an, yakni periode kegiatan ekonomi dan militer ditetapkan angka sekitar 80.000 penduduk. Dalam naskah Roeiro menggambarkan tofografi kota dalam 2.5 km dari muara sungai Aceh di sebelah utara ke suatu titik yang terletak langsung di sebelah selatan lingkungan istana, dan terakhir ke titik ketiga di pantai utara, pada sungai yang bermuara di teluk Aceh di Ulee Lheue. Dengan demikian, diperoleh garis keliling sekitar 14 km dan bidang seluas sekitar 8 km, jadi sekitar 80.000 penduduk.[35] Anthony Reid menambahkan bahwa pada sekitar tahun 1570-1580 M, Banda Aceh merupakan sebuah kota pelabuhan khas Melayu. Lahan permukiman begitu luas, tetapi hanya pusat perdagangan dan politik saja yang berpenduduk padat, sekitar 20.000 orang penduduk per km.[36] Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Denys Lombard, bahwa pada abad XVII penduduk kota Banda Aceh berjumlah sekitar 50.000 jiwa.
De Graaff, menyebutkan di Banda Aceh pada waktu itu ada 7000 atau 8000 rumah.[37] Apabila setiap rumah dihuni rata-rata 5 orang saja, maka jumlah penduduk kota ditaksir antara 35.000 atau 40.000 orang. Kalau dilihat jumlah pasukan Aceh yang dapat dikerahkan ke medan perang oleh Iskandar Muda yang sebagian besar berdiam di Banda Aceh, maka taksiran penduduk Banda Aceh akan melebihi angka tersebut di atas, kemungkinan mencapai 100.000 orang.[38]
Penduduk yang tinggal di desa-desa terpisah oleh ladang dan kebun, semakin padat jumlahnya ketika mendekati pusat politik (dalam) dan pusat perdagangan (tepi sungai sebelah utara dalam). Desa-desa yang masih bersifat pertanian seperti Meurasa (Meuraxa) dan berangsur-angsur secara berkesinambungan dengan desa-desa urban yang lebih padat penduduk ke arah kota.
Dalam kota Banda Aceh terdapat status kebiasaan yang didasarkan pada status sosial-ekonomi, status keagamaan, status kekuasaan dalam pemerintahan. Berdasarkan nama kampung yang sampai sekarang masih dipakai dapat diperkirakan bahwa kampung Mperum dan Bitai adalah tempat kediaman orang Turki dan Arab, kampung Biduen tempat kediaman orang penghibur, kampong Pandee tempat kediaman tukang-tukang. Dalam Hikayat Aceh disebutkan adanya kampung Birma dan Jawa, tempat-tempat kediaman orang asing, misalnya, kampung Kleng, Peunayong, Kampung Kedah dan lain-lain. Pada sekitar abad ke-16, John Davis memberitakan adanya perkampungan orang-orang Portugis, Gujarat, Arab, Benggala dan Pegu di samping perkampungan orang Cina. Selain itu, diketahui pula perkampungan tempat kediaman prajurit dan pembesar kerajaan seperti Neusu, Pelanggahan, Merduati dan lain-lain.[39]
Bangunan untuk perumahan pada umumnya dibuat dari kayu, hanya untuk bangunan tertentu saja dibuat dari batu, misalnya makam, tembok istana. Rumah-rumah didirikan di atas tiang kayu yang tinggi, diatapi dengan ilalang dan rumbia, membujur arah timur barat, yang terakhir ini adalah pengaruh agama Islam yang dimaksudkan untuk memudahkan penentuan arah kiblat

0 komentar:

Posting Komentar