Minggu, 24 Oktober 2010

Khutbah Idhul Adha tentang hikmah Ibadah Haji 2010

M.Rizal Ismail (bahan khutbah)


Puji dan syukur kita persembahkan ke hadhirat Allah Swt yang telah memberikan kepada kita berupa nikmat Islam, memuliakan kita dengan seruan haji, menjalankan segala syiarnya yang agung sehingga menjadikan kita terpilih menjadi ummat terbaik untuk manusia. Salawat dan salam marilah kita sanjungkan ke pangkuan junjungan ‘alam Nabi Besar Muhammad Saw, keluarga dan sahabatnya sekalian yang telah berkorban demi perjuangan Rasulullah Saw dalam memperbaiki akhlak manusia dan memerangi taghut.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Hadirin Kaum Muslimin Sidang Jamaah Idhul Adha yg Dirahmati Allah SWT

Di pagi yang berbahagia ini, ummat Islam di seluruh pelosok dunia sedang merayakan dan mengagungkan asma Allah Swt. Mereka berduyun-duyun menuju masjid-masjid, surau-surau, ataupun pergi ke tempat-tempat ibadah dengan satu tujuan yaitu mengucakan talbiyah, menyebut asma Allah, mengabdikan diri kepada-Nya, membesarkan Allah sebagai Pencipta, Pelindung, Penyelamat dunia dan akhirat.

Dalam tradisi Islam, hari raya haji disebut juga dengan hari raya qurban. Disebut hari raya qurban, ini tidak terlepas dari sejarah awal dalam sebuah peristiwa besar yang terjadi pada diri Nabi Ibrahim AS ketika diperintahkan Allah untuk mengurbankan puteranya Nabi Ismail AS. Pada masa Islam, peristiwa ini menjadi bahagian penting untuk diresapi dan diaplikasikan dalam kehidupan kaum muslimin melalui tradisi kurban.

Hakikat dari ibadah haji sesungguhnya pengabdian diri hamba yang direalisasikan dalam bentuk kegiatan penuh dengan simbol-simbol yang sangat protokoler. Tapi, kedalaman maknanya itu juga tergantung pada pribadi-pribdi orang mukmin itu sendiri. Kita akan menangkap makna-makna yang terkandung dalam ibadah haji. Prosesi haji dimulai dari miqat dengan menanggalkan pakaian berjahit dan berganti dengan pakaian ihram. Maka sejak itu pula seorang mukmin harus menanggalkan pakaian kemewahan, simbol-simbol duniawi, pangkat dan jabatan berganti dengan pakaian ketaqwaan berupa kesabaran, ketabahan, keikhlasan, tawadhuk, tunduk, patuh dengan menafikan sifat-sifat sombong dan arogan.

Selesai miqat dan berpakaian ihram, lalu menuju ke Mekkah untuk melakukan tawaf yang dimulai dari garis lurus dengan hajar aswad. Saat akan tawaf kita mengangkat tangan sambil berucap “Allahu Akbar”. Mengangkat tangan sebagai simbol kita berjabat tangan dengan Allah, yang mengisyaratkan bahwa kita berjanji akan mematuhi apa yang telah diperintahkan dan digariskan oleh Allah menyangkut aturan-aturan dalam hidup ini. Ini seperti halnya kita berjabat tangan setelah selesai dari penandatanganan kesepahaman (MoU) dengan pihak lain, yang juga mengisyaratkan bahwa kedua belah pihak akan berjanji dengan sepenuh hati melaksanakan apa yang termuat dalam perjanjian itu. Tapi, mengapa orang-orang yang telah berikrar itu, masih saja melanggar janjinya. Itu berarti ia belum bertawaf.

Ketika tawaf seseorang melingkari Ka’bah dari empat arah sebanyak tujuh kali. Ini bermakna bahwa kaum muslimin dan muslimat dalam mendekati Tuhannya bisa dilakukan dari berbagai arah. Tetapi tetap tidak boleh mengi’tiqadkan/menganggap bahwa Tuhan itu ada di sana. Karena anggapan itu dapat mengancam aqidah seseorang membawa kepada syirik; Allah dalam keyakinan orang-orang muslim tidak mengambil tempat dan bentuk seperti yang terlintas dalam pikiran manusia.


Hadirin yang Dimuliakan Allah SWT

Secara lebih luas tawaf melingkari Ka’bah bersimbolkan hidup dan kehidupan seseorang mukmin tidak boleh keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, kemanapun ia berputar menjalani hidup dan kehidupan ini. Kehidupan itu sendiri adalah silih berganti, ada yang baru hadir dan ada yang berada di tengah perjalanan serta ada pula yang tinggal di ujung kehidupan. Walaupun demikian, yang nampak bagi kita adalah bahwa mereka berada dalam suatu arena yang sama, yakni dalam lingkaran Ka’bah. Bertawaf mengelilingi Ka’bah dari keberagaman suku bangsa, perbedaan warna kulit dengan suasana berdesak-desakan, dapat memberi arti bahwa untuk menggapai tujuan hidup haruslah berani bersaing dengan bangsa-bangsa dan suku-suku. Meskipun harus menjalani hidup dengan persaingan, tapi, tetap saja tidak dibenarkan bermain di luar jalur, apalagi sampai merampas hak-hak orang lain. Tidak boleh sedikitpun menyakiti dan mendhalimi orang lain. Jalan hidup ini sesuai aturan main yang telah digariskan Allah Swt. Jangan melanggar garis “hijir Ismail” saat melaksanakan tawaf.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,

Hadirin yang Dirahmati Allah SWT

Selesai melaksanakan tawaf dilanjutkan dengan sa’i. Sa’i dalam konteks ibadah haji berarti lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Dalam konteks yang lebih luas, sa’i dapat berarti berusaha mencari kehidupan baru. Prosesi ini mengenang kembali usaha keras yang dilakukan ibunda Ismail as, Siti Hajar, saat mencari air untuk kelangsungan hidup puteranya. Dalam menjalani hidup harus dimulai dengan jalan yang bersih dan insya Allah akan memperoleh keberkahan. Ketika Siti Hajar mengakhiri sa’i di bukit Marwah berarti menggambarkan kesejahteraan dan kedamaian. Makna ini dapat dipahami bahwa seorang muslim dalam berusaha haruslah dengan cara-cara yang bersih, halal, tidak menyakiti orang lain, dan jika pun ada persaingan maka persaingan dilakukan dengan sehat, dan jujur sehingga hasil usaha yang diperoleh akan berdampak untuk kesejahteraan dan kedamaian.

Ibadah sa’i juga memiliki makna yang sangat mendalam bagi kehidupan muslim dalam mencari nafkah, di samping titah Allah untuk menunjukkan kepada ummat muslim bahwa alam semesta ini berjalan sesuai dengan hukum alam (sunnatullah). Ini bermakna meskipun Siti Hajar sudah tahu dan paham benar situasi dan kondisi alam di sekelilingnya, namun ikhtiar sebagai manusiawi tetap ia lakukan sa’I agar memperoleh seteguk air. Ini menunjukkan bahwa seorang muslim tidak pernah putus asa; terus berjuang sampai menggapai tujuan.

Kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail as, telah mengajarkan ketauhidan kepada kita bahwa ada karunia Allah yang diberikan melalui sebab musabab, dan ada pula yang tidak. Dalam sejarah, diriwayatkan bahwa di tempat yang gersang lagi tandus Nabi Ibrahim as meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang sedang bayi. Ketika Ibrahim hendak bergegas pergi meninggalkan mereka berdua, Hajar bertanya, apakah kami akan engkau ditinggalkan pergi di lembah ini? Hatinya di relung sedih karena harus meninggalkan keluarganya di lembah yag tandus. Nabi Ibrahim as tidak dapat menjawab atas pertanyaan isterinya itu. Lalu Hajar mengulang bertanya, “Kepada siapa engkau titipkan dan tinggalkan kami di lembah ini? Adakah Allah telah memerintahkanmu?”. Ibrahim masih saja diam seribu bahasa, dia belum dapat memberikan jawaban, namun yang terlihat seakan sinar matanya redup dan berkaca-kaca, sesekali ia menatap ke langit. Setelah ia mendapatkan hidayah, barulah ia menjawab pertanyaan isterinya dengan anggukan kepala sebagai isyarat membenarkan bahwa apa yang dilakukan itu adalah perintah Allah Swt. Isyarat itu telah melegakan hati Siti Hajar dan ia menyambutnya dengan penuh keimanan dan ketabahan. Karena Siti Hajar yakin Allah Yang Maha Kuasa lagi Pemurah pasti tidak akan mengabaikan dan meninggalkannya seorang diri.

Gambaran hidup bermitra sedemikian kuat dan besar pengaruhnya terhadap tugas-tugas suami, dengan catatan keimanan tetap harus kokoh agar jangan ada pihak-pihak yang nampaknya membantu, tapi pada hakikatnya menjerumuskan. Inilah hikmah sa’I yang telah disyariatkan kepada kita dalam rangkaian menyelesaikan ritus-ritus ibadah haji. Ada saat-saat harus melakukan usaha maksimal dan ada pula saat-saat kita harus melakukan kepasrahan secara total kepada Allah Swt. Dengan demikian Islam tidak pernah menawarkan jalan pintas, jalan cepat untuk sukses tanpa usaha, apalagi dengan jalan merampas hak-hak orang lain agar kelihatan “wah” di mata manusia, tetapit erburuk di mata Allah Swt. Islam menawarkan cara-cara alamiah, agar mudah ditiru dan bisa dilakukan oleh siapapun.

Allah Swt melalu ritus ini ingin menyempurnakan tahap demi tahap yang harus dilakukan manusia ketika menginginkan sesuatu kesuksesan, sekaligus untuk memberikan pemahaman, pelajaran dan hikmah kepada kita tentang masalah yang alami, yakni apabila kita sudah menempuh berbagai ikhtiar dan ternyata menemui jalan buntu, maka seorang mukmin dilarang untuk berpatah semangat apalagi putus asa karena Allah selalu memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya. Prinsip ini dijelaskan dalam Al Quran dalam surah An-Naml, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya”. (QS. An-Naml (27):62)

Perhatikan dewasa ini, gaya hidup putus asa dianggap bentuk pelarian yang mujarrabah, lewat pergi ke tempat-tempat unkar, narkoba, heroin, gantung diri, dan lain-lain ikut telah mewarnai kehiduan masyarakat. Tidakkah kita renungkan dan belajar dari perilaku Siti Hajar bersama anaknya Ismail ketika susahnya mendapat seteguk air? Sedangkan kita hidup ditengah alam dengan lahan yang subur, di tengah-tengah keramaian dan di era transportasi yang tinggal pilih. Apa yang membuat kita harus berputus asa? Jawabannya adalah kita ingin dapat cepat dan ingin lewat jalan pintas. Kita sangat ambisius menguasai alam dengan cara yang salah, lihat saja hutan sudah gundul, penebangan tanpa batas, sehingga menyebabkan banjir, tanah longsor dan berbagai kejadian yang serupa terjadi di mana-mana. Kenapa kita serakah menguasai seluruh sumber kehidupan tanpa peduli yang halal dan haram. Jika demikian, dimana letak makna sa’I dan makna tawaf yang telah diajarkan kepada kita dalam ibadah haji itu.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Hadirin yang Dirahmati Allah SWT

Wukuf di Arafah merupakan ritual haji yang sarat nilai dan tak kalah pentingnya bagi manusia. Arafah secara bahasa berasal dari kata ‘arafa yang berarti mengenali atau mengetahui. Arafah dapat dipahami sebagaimana mengenal pribadi masing-masing mengenai dari mana kita berasal, dan hendak kemana kita akan kembali. Pengenalan terhadap jati diri manusia sangat penting agar perjalanan hidup yang tidak gratis melainkan harus dengan pertanggungjawaban ini dapat terkontrol.

Tanpa pengenalan atas jati diri, seseorang sering kali terjerumus ke dalam sifat-sifat tercela seperti sombong, egois, dan lain-lain. Ketika sifat-sifat itu sirna dari diri manusia maka ia akan menemukan kembali jati dirinya sehingga dengan mudah memahami siapakah Tuhannya.

Al Aqqad dalam kitabnya “Manusia dalam Al-Quran” mengemukakan bahwa setiap muslim penting sekali mengenali dirinya. Ia menyatakan “Kanali siapa dirimu”. Amanah ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh baginda Rasulullah Saw bahwa barang siapa yang mengenali dirinya pasti ia akan mengenali siapa Tuhannya.

Training untuk mengenali jati diri lewat media wukuf di Padang Arafah itu harus mampu mengantarkan kita kepada perubahan sikap setiap saat mengenang makna hidup secara hakiki. Seringkali kita sulit mengajak hati untuk berdialog dengan diri, karena tertutupi oleh hawa nafsu dan kemauan hawa nafsu syatainiyah. Akan tetapi semua orang saat wukuf di Arafah kebekuan hawa nafsu iitu bisa mencair dengan karena rahmat Allah SWT. Itu sebabnya kegiatan ritual wukuf di Arafah menjadi rukun haji yang pelaksanaannya tidak bisa diwakilahkan kepada orang lain walaupun seseorang harus ditandu karena sakit atau alasan lainnya. Kecuali itu waktu untuk pelaksanaan wukuf sangat khsus dan terbatas. Artinya tidak bisa orang melaksanakan di sembarang waktu. Ketentuannya sangat jelas kapan ia harus berada disana dan kapan pula harus meninggalkan Arafah. Wukuf dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, mulai ba’da zawal (setelah matahari tergelincir) hingga terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Demikian pentingnya wukuf sampai-sampai Rasul SAW bersabda, “Alhajju Arafah” artinya haji itu adalah arafah.

Dilihat secara historis, wukuf di Padang Arafah merupakan renungan kembali tentang beberapa peristiwa besar yang pernah terjadi antara lain:

1. Bertempat di Jabal Rahmah, Padang Arafah, pertemuan kembai dua manusia pertama yaitu Nabi Adam as dan Siti Hawa yang pernah terpisah dalam waktu yang sangat lama setelah Allah menurunkan mereka berdua dari surga;

2. Mengenang kembali peristiwa Nabi Ibrahim as ketika mendapatkan perintah dari Allah untuk mengorbankan puteranya Ismail as. Saat itu Ismail baru tumbuh remaja dan tumpuan harapan, bagaimana perasaan kedua orang tuanya di satu pihak dan bagaimana harus mentaato perintah Allah di pihak lainnya. Inilah ujian keimanan yang harus dialami oleh Nabi Ibrahim as di Padang Arafah. Suatu ujian yang membuktikan bahwa Allah SWT baginya merupakan satu-satunya Dzat yang telah dipilih dan paling dicintai melebihi yang lain, tidak hanya dengan kata-kata melainkan juga telah dibuktikan dengan perbuatan. Dalam proses akan dilaksanakan perintah itu, Nabi Ibrahim as tidak ingin membuat kejutan psikologis kepada puteranya, melainkan ia mengajak bicara dengan meminta pendapat dan pandangannya tentang keputusan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Manajemen pengambilan keputusan lewat dialogis ini diabadikan Allah di dalam Al-Quran surah As-Shaffat, 102, “Maka tatkla anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab : Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. As-Shaffat: 102)

3. Mengenang perjalanan Rasulullah SAW ketika saat-saat akhir menerima risalahnya ditandai dengan turunnya wahyu terakhir Surat Al Maidah ayat 3 sebagai isyarat penyempurnaan risalah Islam;

4. Ibadah ritual Arafah adalah gladi resik peristiwa akbar bagi ummat manusia di Padang Mahsyar; hari kebangkitan kembali manusia dari kubur. Itulah sebabnya ritus Arafah begitu penting agar kita dapat mempersiapkan bekal untuk menjalani hidup di akhirat yang sifatnya kekal abadi.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Perenungan yang menjadi esensi ritus wukuf itu diharapkan dapat mengantar manusia menjalani sisa-sisa hidup yang lebih baik dan bermakna. Siapapun akan menyadari bahwa hidup ini sangat singkat, terbatas dan harus secara produktif diisi dengan hal yang baik, yang berkaitan dengan hablumminallah dan hablumminannas. Sesungguhnya apa yang ingin disimbolkan dalam wukuf di Arafah ini adalah peringatan terhadap awal dan akhir dari kehidupan ini.

Peringatan kehidupan awal yang ditandai pertemuan antara Nabi Adam as dan Siti Hawa, sementara kehidupan akhir ditandai dengan wahyu terakhir serta haji pamitan dimana Rasulullah SAW pamit dengan kaum muslimin dan para pengikutnya. Ritual ini sekaligus mengajak ummat manusia untuk merasakan suatu gladi resik, bagaimana seluruh manusia dihamparkan dalam kehidupan setelah mati. Semua manusia yang berwukuf memakai pakaian putih tanpa jahitan, seakan0akan situasi ini mengantarkan kita ke dalam kebangkitan kembali. Oleh karena itu, ritus wukuf adalah proses penyadaran diri tentang akan adanya kehidupan sesudah mati dan kehidupan itu harus berbekal ketaqwaan untuk keabadian.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Hadirin yang Dirahmati Allah SWT

Selesai wukuf di Arafah melanjutkan perjalanan ke Mina dengan terlebih dahulu mabit (singgah) di Musdhalifah utnuk memulihkan kembali kekuatan fisik sambil memungut batu-batu kecil sebagai persiapan melempar jamarah.

Lempar jamarah setelah melaksanakan pertobatan di Arafah merupakan manifestasi untuk menyingkirkan syeitan-syeitan penggoda. Lemparan syeitan berulang kali dilakukan, ini menandakan syeitan menjadi musuh manusia di setiap masa. Sikap ini mengingatkan kita untuk kembali merenungkan peristiwa Nabi Ibrahim as dan Ismail as, saat melempar syeitan yang mencoba menggoda mereka berdua agar ingkar terhadap perintah Allah SWT. Sejak hari itu Nabi Ibrahim as telah meninggalkan pesan kepada puteranya dan orang-orang yang hidup setelah mereka bahwa sampai kapanpun syeitan-syeitan itu adalah musuh nyata bagi ummat manusia yang selalu harus diingat, dimusuhi dan diperangi.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Hadirin yang Dirahmati Allah SWT

Di akhir khutbah ini, khatib ingin mengajak kita semua untuk merenungi kembali peristiwa nabiyullah Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail as. Ketika nilai-nilai sejarah itu dapat diambil hikmah dan dimaknai dalam kehidupan masyarakat kita saat ini maka pastilah akan menemukan kedamaian dan ketenteraman diri sehingga akan memberi manfaat dan pengaruh yang besar dalam mengisi pembangunan bangsa

0 komentar:

Posting Komentar