M. Rizal Ismail (bahan khutbah)
Para ulama mengelompokkan hadis dalam beberapa bagian. Ada hadis sahih, hasan, dhaif, dan lainnya. Berapa banyak jumlah hadis sahih yang Anda ketahui?
Secara pasti, saya tidak tahu. Yang jelas, jumlahnya sangat banyak, bisa puluhan hingga ratusan ribu. Dan semua hadis sahih itu ada di berbagai literatur, seperti dalam kitab hadis Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Ashabus Sunan, dan lainnya. Jadi, tidak hanya terbatas dalam satu kitab hadis sahih saja. Misalnya, hanya dalam Shahih Bukhari saja atau Shahih Muslim saja, atau hanya Shahih Bukhari-Muslim (Shahihain) saja, tidak. Ada banyak hadis sahih yang didapatkan oleh para ahli hadis lainnya seperti Abu Dawud, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya.
Banyak orang ingin mengamalkan sunnah, namun khawatir sumbernya tidak sahih. Sebenarnya apa saja kriteria hadis sahih itu?
Kriterianya sangat banyak. Beberapa di antaranya mencakup lima hal.
Pertama, hadis itu harus bersambung (mutawatir) sanadnya (perawi) hingga sampai pada Rasulullah SAW.
Kedua, Antara perawi yang satu dengan lainnya tidak terdapat cacat, misalnya berbohong atau menipu. Mereka mengenal riwayat hidup para perawi yang ada di atasnya (muruah), dan menjauhi segala sesuatu yang tidak pantas untuk dikerjakan.
Ketiga, perawinya harus dhabit, hafalannya sangat kuat dan atau punya catatan tentang asal muasal hadis yang didapatkannya itu. Ia juga mempunya pengetahuan yang baik mengenai kualitas hadis itu, apakah sahih atau dhaif.
Keempat, tidak ada illat (alas an perbedaan) dalam matan. Misalnya, hadis tentang shalat, jika ia menemukan perawinya dari si A, maka dalam hadis lain yang serupa ia juga menemukan bunyi yang sama dan tidak perbedaan di dalamnya.
Kriteria yang kelima, hadis sahih itu tidak ada kejanggalan atau keraguan di dalamnya. Hadis itu juga tidak bertentangan dengan Alquran maupun hadis lainnya.
Apakah semua hadis yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari itu benar-benar sahih semua?
Secara spesifik saya belum pernah melakukan penelitian sejauh itu. Memang ada ulama yang mencoba melakukan verifikasi hadis dalam Shahih Bukhari, seperi Daruquthni, Muhammad al-Ghazali, dan lainnya. Menurut mereka, ada yang tidak sahih. Namun, mayoritas ulama termasuk Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, bahwa hadis dalam kitab Shahih Bukhari sangat sahih. Sebab, Imam Bukhari benar-benar berupaya maksimal dalam mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk memilah hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW secara utuh dan mengenyampingkan hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang dinilainya tidak layak.
Misalnya, bila menemukan sebuah hadis, Imam Bukhari berupaya mencari keterangan dari sumber aslinya. Misalnya, hadis itu diriwayatkan oleh ‘A’, jika masih hidup maka Bukhari akan berusaha menemui si ‘A’. Dan bila ia mendapati ‘A’ pernah menyakiti seekor hewan, misalnya membunuh nyamuk, maka perawi itu akan ditinggalkan oleh Bukhari. Imam Bukhari tidak akan mengambil atau meriwayatkan hadis dari perawi semacam itu.
Jadi, kualitas hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari benar-benar terjaga dengan baik dari sumber tepercaya. Begitu juga dengan Imam Muslim. Walaupun banyak ulama yang menempatkannya periwayat hadis sahih terbaik setelah Bukhari. Karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, maka kualitas hadis itu benar-benar baik kualitasnya.
Berapa banyak jumlah hadis dhaif dibandingkan dengan yang sahih?
Hingga saat ini belum ada kajian spesifik mengenai hal itu. Tapi, jika dikaji serius, kemungkinan banyak sekali hadis yang dhaif (lemah) dibandingkan dengan yang sahih. Seringkali kita mendengar ustaz berceramah dan mengatakan “uthlubul ilma walau bi as-sin”(Tuntutlah ilmu hingga sampai ke negeri Cina). Ini bukan hadis, tapi hanya kata-kata hikmah atau bijak. Begitu juga dengan pernyataan “i’mali ad-dunyaka ka`annaka ta’isu abada wa’mal li akhiratika ka`annaka tamutut ghadan” (Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu, seakan-akan kamu akan mati besok pagi). Ini juga bukan hadis Nabi SAW, melainkan hanya kata-kata bijak saja.
Lalu ada juga ungkapan ‘Terong itu obat dari segala macam penyakit’, ini adalah hadis maudhu (palsu). Memang banyak sekali ungkapan-ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal itu bukan. Rasul melarang umatnya berbuat demikian. “Man kadzdzaba ‘alayya muta’ammidan fa al-yatabawwa’ maq’adahu min an-nar” (Barang siapa yang berbohong atas namaku (Rasul SAW), maka tempat duduknya yang pas adalah di neraka). Karena itu, sebaiknya umat Islam berhati-hati menggunakan sebuah dalil agama, apalagi bila mengutip hadis, padahal hal itu belum tentu hadis dari Rasul SAW.
Faktor apa yang menyebabkan munculnya hadis-hadis palsu itu?
Sedikitnya ada dua hal. Pertama soal fanatisme mazhab untuk membela kepentingan kelompoknya. Dan yang kedua, untuk memotivasi masyarakat atau umat agar rajin beribadah kepada Allah SWT (fadha`il al-a’mal, keutamaan beramal).
Bagaimana dengan faktor sufi dan politikus?
Ya, kedua kelompok ini disinyalir banyak melakukan atau membuat hadis-hadis palsu. Kalangan sufi diduga membuat berbagai kalimat-kalimat hikmah (bijak) untuk mengajak umat supaya rajin beribadah. Hal itu dilakukan karena mereka prihatin terhadap umat yang enggan melaksanakan shalat, puasa, menunaikan zakat, ataupun beribadah haji, padahal mereka itu mampu. Supaya rajin, maka dijanjikanlah pahala yang besar dan balasan yang banyak, supaya umat termotivasi untuk beribadah.
Adapun para politikus, mereka membuat hadis-hadis palsu karena ingin membangga-banggakan kelompoknya. Seakan hanya kelompoknya saja yang benar dan yang lain salah.
Salahkah mereka yang beramal dengan hadis-hadis dhaif?
Secara aturan pasti salah apalagi tidak mau mempelajari sumbernya dan hanya menerima apa adanya saja. Namun, untuk alasan tertentu, mereka tidak bisa dikatakan salah 100 persen, toh mereka mendapatkan pemahaman dan pelajaran yang demikian dari yang mengajarinya. Nah, si pengajar ini apakah dia ustaz, kyai, ulama, harusnya memberitahukan hal itu. Sehingga umat menjadi paham.
Bagaimana dengan karya Al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyah yang menetapkan sejumlah kriteria bagi pemimpin Islam, dan salah satunya adalah harus berasal dari suku Quraisy?
Memang, banyak perdebatan kalangan ulama mengenai isi kitab itu, terutama berkaitan dengan kriteria pemimpin Islam tersebut. Kalau hanya pemimpin Islam itu harus berasal dari suku Quraisy, walau Rasul SAW sangat membanggakan suku ini, kita tidak bisa serta merta menerima kriteria seperti itu. Sebab, pasti hal itu akan memancing isu SARA yang bisa berakibat buruk bagi perkembangan dan persatuan dunia Islam.
Bagaimana dengan hadis yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin?
Kita tidak bisa melihat sebuah hadis hanya berdasarkan makna harfiah. Ada sabab musabab atau asbab al-wurud-nya (sebab-sebab munculnya hadis itu, red). Ada pula kualitas periwayatnya, apakah ia benar-benar terkenal sebagai orang yang rajin beribadah, lalu bagaimana dengan sanad dan matan-nya, apakah bersambung atau tidak.
Mengenai hadis La yufliha al-qawmu walau amruhum imra`atan (Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang perempuan), harus benar-benar dicek lagi sebab-sebabnya. Memang, menurut beberapa kalangan, hadis itu sahih. Namun, ada yang menilainya isinya sahih, tapi tidak bisa diberlakukan secara umum, artinya hanya kasus per kasus saja.
Jika memang tidak boleh perempuan menjadi pemimpin, kenapa para sahabat Rasul diam saat terjadi peperangan di Siffin yang mempertemukan antara Aisyah dan Ali bin Abi Thalib. Aisyah ditunjuk menjadi pimpinannya. Kenapa banyak sahabat diam saja, tidak protes.
Menurut sejumlah kalangan lainnya, hadis diatas diungkapkan karena saat itu putri Raja Kisra tidak terpelajar untuk menjadi seorang pemimpin. Ia hanya banyak berada di dalam istana dan hamper tidak pernah bergaul dengan masyarakat lain. Sehingga dikhawatirkan, jika dirinya memimpin, maka rakyatnya akan rusak dan menderita bila dipimpin oleh orang yang demikian.
Kalangan ulama sepakat, bahwa hadis itu harus diperlakukan secara khusus dalam hal ibadah dan bukan dalam bidang sosial. Maksudnya, selama perempuan itu memiliki kapabilitas dan kemampuan yang baik, tidak ada salahnya dia menjadi seorang pemimpin. Perempuan boleh menjadi hakim bahkan presiden. Memang ada perbedaan di kalangan ulama soal presiden perempuan. Tapi ada pula yang membolehkan, karena posisi presiden bukanlah jabatan tertinggi di negeri ini. Yang tertinggi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam bidang ibadah, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Misalnya menjadi imam shalat, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam laki-laki, dia hanya boleh menjadi imam shalat perempuan.
Mengenai kata bahwa “Umat-ku di akhir zaman nanti akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang masuk surga yaitu ana wa ashhabi, dan adapula ungkapan “Umat-ku di akhir zaman nanti akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang masuk neraka yaitu az-zanadiqah (kafir zindiq). Menurut Anda bagaimana dengan kedua hal tersebut?
Ya, ini juga terjadi pertentangan dan perdebatan di kalangan ulama. Namun, kita melihatnya itu adalah adanya sebuah tambahan makna atau tambahan matan. Maksud 73 itu bukan berarti benar 73, tapi itu untuk menunjukkan betapa banyaknya perbedaan di kalangan umat Islam di akhir zaman .
0 komentar:
Posting Komentar