Shaum Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat agung dan manfaat yang sangat banyak dari berbagai aspek; jasmani, ruhani, medis, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Semua keutamaan dan manfaat tersebut akan mengantarkan seorang muslim mencapai derajat takwa. Buahnya bisa dilihat secara nyata dalam hidup keseharian seorang muslim selama sebelas bulan setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan.
Sepanjang tahun, ia akan menunjukkan keshalihan pribadi dan sosial. Secara vertikal, hablun minallah, ia memiliki hubungan ibadah dan taqarrub yang sangat kuat dengan Allah SWT. Dan secara horisontal, hablun min an-naas, ia menampilkan akhlak yang baik kepada sesama manusia; anak, istri, tetangga, kerabat, lingkungan kerja, dan lainnya. Ia hidup lebih sabar, disiplin, jujur, bertanggung jawab, amanah, ulet, penyayang, peduli sesama, dan sederhana. Ia jauh dari kebohongan, egoisme, kekikiran, pemborosan, penipuan, kezaliman, dan kemaksiatan. Ia sukses menjadi lebah yang senantiasa menebar kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Buah yang indah dan keutamaan yang agung tersebut bukanlah hasil dari sebuah ‘shaum biasa’. ‘Shaum biasa’ adalah shaum yang sekedar menggugurkan kewajiban. Ia melakukan shaum karena semua muslim di sekitarnya juga melakukannya. Ia melakukan shaum sekedar mengacu kepada hukum-hukum fiqihnya: memenuhi syarat dan rukun serta menjauhi pembatalnya semata. Shaum baginya hanyalah tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri sejak fajar fajar sampai matahari tenggelam.
Secara hukum fiqih, apa yang ia lakukan memang sudah benar. Shaumnya sah dan ia telah menunaikan kewajibannya. Hanyasaja, Islam menginginkan lebih jauh dari shaumnya. Bukan hanya rukun dan syarat shaum yang dipenuhi, serta pembatal-pembatalnya yang dijauhi. Agar sampai kepada derajat takwa yang sesungguhnya, ia juga dituntut untuk menjaga adab-adab dan sunah-sunah Ramadhan. Ada kebiasaan-kebiasaan buruk, bahkan hal-hal yang kelihatannya sepele, yang selayaknya ditinggalkannya. Ada kebiasaan-kebiasaan baik yang harus ia latih sehingga terbiasa dan pada gilirannya menjadi bagian dari perangainya. Ia mesti mempraktekkan berbagai akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela, agar shaumnya berpahala dan membawa sejuta manfaat.
Di antara adab-adab yang harus diperhatikan olehnya adalah pesan-pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ))
Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shaum adalah perisai. Maka janganlah orang yang shaum melakukan hal yang jorok dan jangan pula melakukan tindakan yang bodoh. Jika seseorang mengganggunya atau mencaci makinya, maka hendaklah ia menjawab: ‘Aku sedang melakukan shaum 2X.’ Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari bau minyak wangi. Ia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku SWT semata. Shaum itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya balasan. Dan satu amal kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( ليس الصيامُ من الأكلِ والشربِ ، إنما الصيامُ من اللغو والرفث ، فإن سابَّك أحدٌ أو جهل عليك ، فقل : إني صائم ، إني صائم ))
Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Shaum itu bukanlah sekedar tidak makan dan minum. Lebih dari itu, shaum yang sebenarnya adalah menahan diri dari hal-hal yang sia-sia dan hal-hal yang jorok. Jika seseorang mencaci maki kamu atau berbuat bodoh kepadamu, maka katakanlah kepadanya: ‘Aku sedang melakukan shaum. Aku sedang melakukan shaum.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: Shahih menurut syarat imam Muslim. Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam Shahih Targhib wa Tarhib no. 1082)Dalam hadits-hadits ini dijelaskan bahwa orang yang melakukan shaum harus meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela yang bisa merusak shaum atau minimal mengurangi keutamaan dan manfaatnya. Hal-hal tercela tersebut adalah:
Pertama, Fa laa Yarfuts
Janganlah melakukan hal yang jorok. Istilah ar-rafats secara bahasa memiliki arti perkataan yang jorok dan keji. Adapun dalam istilah agama memiliki beberapa pengertian; ucapan yang keji dan jorok, hubungan seksual, pengantar menuju hubungan seksual (mencium, memeluk, mencumbu), mengobrol tentang lawan jenis, pornografi, pornoaksi, dan hal-hal yang semakna dan setujuan dengannya. Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, As-Sudi, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Mujahid, Az-Zuhri, dan Malik bin Anas menyatakan maksud dari ar-rafats adalah hubungan seksual. Ibnu Umar, Thawus bin Kaisan, Atha’ bin Abi Rabah, dan beberapa ulama salaf mengartikan ar-rafats adalah ucapan yang keji dan jorok. Sementara pakar bahasa Abu Ubaidah menafsirkan ar-rafats adalah perkataan yang sia-sia. (Fathul Qadir, 1/251)
Dalam hadits yang kedua, selain dilarang ar-rafats, orang yang shaum juga dilarang dari al-laghwu. Istilah al-laghwu diambil dari kata kerja dasar laghaa-yalghuw-laghwun dan laghaa-yalghii-laghyun. Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-laghwu memiliki pengertian: ucapan yang tidak diperlukan, ucapan yang tidak memiliki kebaikan, dan ucapan yang tidak ada nilainya. (Fathul Qadir, 1/289). Dalam bahasa Indonesia, al-laghwu sering dialih bahasakan menjadi ‘perkataan yang sia-sia, tidak ada manfaatnya, sendau-gurauan dan ucapan main-main’.
Bila hal itu kita komparasikan dengan realita kaum muslimin, maka kita bisa tercengang. Betapa banyak muda-mudi yang melakukan rafats tanpa sadar akan bahaya besarnya bagi nilai shaum mereka. Rafats telah menjadi fenomena umum di kota dan desa; sekolah, kantor, pabrik, pasar, dan tempat kerja; bahkan di masjid!
Sudah menjadi pemandangan umum, muda-mudi bukan mahram yang jalan-jalan bergandengan tangan ba’da Subuh atau ba’da Tarawih sambil ngobrol ngalor-ngilur tak karuan. Sudah umum, muda-mudi bukan mahram yang menunggu datangnya waktu berbuka dengan memadati mall-mall dan tempat hiburan sambil ‘cuci mata’. Sudah lazim, muda-mudi bukan mahram yang mengisi waktu luangnya dengan SMS-SMS-an, calling-calling-an, chating-chating-an, facebook-an dan twitter-an dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan oleh syariat. Betapa banyak ibu-ibu dan remaja putri yang mengisi waktunya dengan menikmati acara-acara info selebritis di TV, yang notabenenya mengobral aurat, percintaan, ghibah, dan seterusnya. Obrolan di sekolah, kantor, pabrik, pasar, kendaraan umum, dan tempat-tempat umum lainnya juga seringkali dibumbui (jika bukan menjadi menu utamanya) dengan pembicaraan tentang lawan jenis dan hal-hal semakna dengannya.
Demi keutamaan dan pahala shaum yang agung, semua bentuk rafats seperti ini harus kita tinggalkan. Pada awalnya pasti sangat berat, namun dengan kerja keras, kesungguhan, tekad baja, dan meminta pertolongan Allah…insya Allah kita akan mampu meninggalkannya. Selanjutnya, menggantinya dengan hal-hal yang membawa manfaat dunia dan akhirat.
Kedua, Wa laa yajhal
Janganlah bertindak bodoh. Maksudnya, janganlah melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak, tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal yang sejenis dengannya. Dalam pengertian bahasa Arab dan syariat Islam, al-jahl (kebodohan) memiliki empat makna: pertama, tidak memiliki ilmu. Kedua, memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Ketiga, memiliki ilmu namun ilmunya bertolak belakang 180 % dengan kebenaran. Keempat, gegabah, emosional, tidak santun, dan tidak mampu mengendalikan amarahnya. Imam An-Nawawi mengartikan al-jahl di sini sebagai ucapan dan tindakan yang tidak bijaksana dan tidak benar. (Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Al-Mufradat fii Gharibil Qur’an, dan Syarh Shahih Muslim)
Bila hadits ini kita tarik kepada realita kaum muslimin, maka lagi-lagi kita mengelus dada. Betapa banyak pemuda dan remaja yang asyik memetik gitar dan berdendang ria di gardu-gardu jaga, padahal masjid yang hanya berjarak seratusan meter dari situ tengah melaksanakan shalat tarawih berjama’ah. Berapa banyak anak-anak dan remaja yang menghabiskan berjam-jam waktunya bersama play station? Berapa ribu jumlah petasan yang dibakar oleh anak-anak, remaja, pemuda, dan bahkan orang tua di saat umat Islam yang lain tengah khusyu’ shalat dan tadarus Al-Qur’an? Berapa pula yang begadang menunggu datangnya waktu sahur dengan kartu, papan catur, dan alat-alat musik? Seringkali suara petasan dan musik jahiliyah lebih keras dari lantunan tadarus Al-Qur’an!
Shaum menuntut kita untuk menjauhi semua perilaku buruk dan bodoh tersebut. Buruk karena menyalahi syariat. Bodoh karena jelas tidak membawa manfaat dunia dan akhirat. Tidak ada nilai ketaatan, taqarrub, pahala, dan manfaat di dunia maupun akhirat dalam tindakan-tindakan semacam itu. Shaum menuntut kita memaksimalkan setiap detik dalam bulan suci ini dalam amal ketaatan yang wajib maupun sunah. Jika melakukan hal yang asalnya mubah, maka itu pun harus diniatkan sebagai rehat dan sarana mengembalikan stamina untuk melakukan amal kebajikan berikutnya.
Ketiga, perkelahian, adu mulut, dan caci maki
Orang yang melakukan shaum dituntut untuk tidak melayani percek-cokan, perkelahian, dan caci makian dari orang lain. Sebagian riwayat hadits di atas memakai lafal وَإِنْ اِمْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ “Jika seseorang memerangi atau mencaci maki dirinya”. Dalam lafal lain memakai lafal فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ قَاتَلَهُ “Jika seseorang mencaci maki atau memeranginya”. Dalam riwayat yang lain juga dipergunakan lafal فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ مَارَاهُ “Jika seseorang mencaci maki atau mendebatnya.”
Shaum mengharuskan seseorang untuk bersikap sabar, lapang dada, santun, pemaaf, dan tenang. Shaum membiasakan diri pelakunya untuk meredam kemarahan, kejengkelan, kekecewaan, emosi, dendam, iri hati, kebencian, dan permusuhan dari dalam hatinya. Oleh karenanya, ketika ia dicaci maki, diajak adu mulut, atau ditantang berkelahi, maka ia mampu menahan diri. Ia ucapkan perkataan yang mantap إِنِّي صَائِم “Saya tengah mengerjakan shaum”. Ia tidak membalas perilaku kurang ajar yang memancing emosi itu dengan tindakan bodoh. Dengan bijak, ia kendalikan emosinya. Jika orang lain berbuat gila kepada kita, kita tidak perlu ikut-ikutan gila. Itulah yang diajarkan oleh hadits ini.
Menurut penjelasan imam An-Nawawi, ucapan “aku tengah mengerjakan shaum’ memiliki dua pengertian:
- Ia mengucapkannya dengan keras sehingga orang yang mencaci maki, mengajak cek-cok, dan menantang kelahi tersebut mendengarnya. Biasanya, mereka akan sadar dan tidak melanjutkan niatnya.
- Ia mengucapkannya dalam hatinya sendiri, agar hatinya selalu waspada dan berhati-hati. Dengan demikian, ia tidak akan bereaksi negatif; balik mencaci maki, cek-cok, dan berkelahi dengan orang yang menyakitinya. Ia tetap berhati-hati agar shaumnya tidak terkotori oleh hal-hal yang mengurangi keutamaan dan pahalanya.
Selanjutnya….
Imam Al-Quthubi dan An-Nawawi mengingatkan, meski ar-rafats, al-jahl, al-mukhashamah (cek-cok) dan al-mujaadalah (debat) dilarang pada saat melaksanakan shaum, bukan berarti keempat hal buruk itu boleh dilakukan di luar Ramadhan atau oleh orang yang tidak shaum. Keduanya tetap haram dilakukan oleh orang yang tidak shaum atau di luar Ramadhan. Hanyasaja, keharamannya semakin kuat pada bulan Ramadhan dan pada saat orang tengah melakukan shaum
0 komentar:
Posting Komentar