Selasa, 26 Oktober 2010

Batas Zina yang dihukum dlm Islam

M. Rizal Ismail (bahan khutbah)

Bentuk zina yang melahirkan hukum hudud ini memang spesifik, yaitu sebagaimana yang telah didefinisikan oleh para ulama. Dalam banyak literatur sering disebutkan bahwa zina dalam hal ini adalah proses masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita di luar nikah atau syibhunnikah.

Bahkan ulama Al-Hanafiyah memberikan definisi yang jauh lebih rinci lagi yaitu: hubungan seksual yang haram yang dilakukan oleh mukallaf pada kemaluan wanita yang hidup dan musytahah dalam kondisi tanpa paksaan dan dilakukan di wilayah hukum Islam di luar hubungan kepemilikan atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah

Bila kita breakdown definisi Al-Hanafiyah tentang batasan zina yang mewajibkan hukum cambuk atau rajam ini, maka kita bisa melihat lebih detail lagi:

Hubungan seksual
: sedangkan percumbuan yang tidak sampai penetrasi bukanlah dikatakan sebagai zina.

Yang haram
: maksudnya pelakunya adalah seorang mukallaf . Maka orang gila atau atau anak kecil tidak masuk dalam definisi ini.

Pada kemaluan
: sehingga bila dilakukan pada dubur bukanlah termasuk zina oleh Al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan oleh Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah meski dilakukan pada dubur sudah termasuk zina.

Seorang Wanita
: bila dilakukan pada sesama jenis atau pada binatang bukan termasuk zina.

Yang Hidup: bila dilakukan pada mayat bukan termasuk zina.

Musytahah: maksudnya adalah bukan wanita anak kecil yang secara umum tidak menarik untuk disetubuhi.

BukanPaksaan
: perkosaan yang dialami seorang wanita tidaklah mewajibkan dirinya harus dihukum.

Di wilayah hukum Islam
. Bila zina itu dilakukan di luar wilayah hukum yang memberlakukan hukum hudud, maka pelakunya tidak bisa dipaksa untuk dihukum sesuai hukum hudud, baik cambuk atau pun rajam.

Di luar hubungan kepemilikan
atau nikah atau syubhat kepemilikan atau syubhat nikah

Semua syarat ini bisa kita baca pada kitab-kitab fiqih khususnya pada bab tentang Zina. Misalnya kitab Al-Bada’i jilid 7 halaman33 dan juga kitab Al-Bidayah Syarhul Hidayah jilid 4 halaman 138.

Para ulama memang mensyaratkan adanya ghiyabul hasyafah atau hilangnyaataumasuknya bagian dari kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Hal itu didasari oleh pertanyaan Rasulullah SAW kepada Maiz yang mengaku berzina: ”Barangkali kami hanya memegang atau hanya melihat?”. Maiz menjawab,”Tidak hanya itu ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bertanya lagi secara detail, ”Seperti masuknya almurud ke dalam mikhalah? Dan seperti masuknya ember ke dalam sumur?’. Maiz menjawab dengan mantap, ”Benar!!!”.

Mikhalah adalah tempat menyimpan celak mata yang biasanya berupa wadah dan almurud adalah semacam batangan yang bisa masuk ke dalam wadah itu.

Maka bila posisi sekedar menempel saja memang belum sampai kepada apa yang ditetapkan sebagai bentuk zina berdasarkan hadits di atas, karena belum ada peristiwa masuknya bagian penis ke dalam vagina.


Namun semua ini sudah termasuk bagian dari zina meski belum sampai kepada keajiban hukum rajam. Dan hakim meski tidak boleh menjatuhkan vonis zina secara hudud, tetap punya peluang untuk memberi ‘pelajaran berharga’ kepada pelakunya. Dan sisi ini di dalam fiqih Islam disebut dengan istilah ta’zir. Bentuknya terserah kepada hakim, yang penting hukuman itu bisa membuatnya jera dan kapok tidak akan pernah lagi melakukannya.

Misalnya, pelaku perbuatan ‘nyaris zina’ itu dihukum dengan cambuk sebanyak 50 kali. Sebagai ganti dari hukum hudud cambuk yang harus 100 kali buat yang belum menikah atau rajam bagi yang sudah pernah menikah

0 komentar:

Posting Komentar